Minggu, 08 Desember 2013

makalah hukum adat perkawinan dayak ransa, fakultas hukum universitas kanjuruhan malang



MAKALAH
SISTEM PERKAWINAN ADAT MASYARAKAT DAYAK RANSA
Pelengkap Mata Kuliah : Hukum Adat
Dosen Pembina : Naning Duyung Indriati, SH., SE




Di susun oleh : Antonius
NPM : 120405010034
Fakultas/jurusan : Ilmu Hukum
Kelas : A

UNIVERSITAS KANJURUHAN MALANG
2013

SISTEM PERKAWINAN ADAT MASYARAKAT DAYAK RANSA


BAB I
PENDAHULUAN

1.1   Latar Belakang
Dari zaman dahulu adat istiadat dayak ransa sudah di kenal oleh warga masyarakat setempat dan di lakukan sejak turun temurun dari nenek moyang hingga  anak cucunya, sampai sekarang adat-adat yang ada di masyarakat tersbut masih tetap di dipegang teguh dan masih sangat kental serta dijalankan oleh warga masyarakat setempat.
Di dalam kehidupan bermasyarakat setiap manusia baik individu maupun kelompok tidak terlpas dari satu sama lain. Karena manusia merupakan makhluk sosial dan Tuhan menciptakan manusia yaitu untuk saling berinteraksi dengan manusia lainnya, oleh sebab itu setiap manusia tentu ingin memiliki keturunannya masing-masing untuk mewarisi harta kekayaan mereka. Maka dari itu muncullah suatu norma/hukum, tradisi atau kebiasaan didalam masyarakat dalam hal ini ialah peraturan adat yang mengatur tentang hokum perkawinan dan itu berlaku bagi pemegang hak dan kewajiban sebagai subyek hukum.   
Dengan demikian tidak berbedanya hal terhadap warga masyarakat adat dayak ransa yang merupakan salah satu dari sekian banyak suku dayak yang ada di pulau Kalimantan (borneo)yang memiliki tradisi atau kebiasaan adat tersendiri. Suku ini geografis terletak di sebuah Desa pedalaman yaitu Desa Laman Mumbung Kecamatan Menukung Kabupaten Melawi, di kawasan paling timur Kalimantan Barat. Suku ini juga memiliki adat perkawinan /kebiasaan adat dayak ransa juga di atur dalam ketentuan-ketentuan tertentu pada adatnya oleh Temenggung (kepala adat) setempat. Namun hokum adat dayak ransa bentuk dan sifatnya juga tidak tertulis, akan tapi budaya semacam ini tetap mereka jalankan terus menerus dalam kehidupan bermasyarakat. System pada perkawinan suku dayak ransa yaitu menganut system dengan garis keturunan patrilinear (dengan garis keturunan bapak).
Masyarakat pada suku dayak ransa dalam adat perkawinannya, seorang pria yang ingin menikahi atau mengawini seorang wanita tidak serta merta atau spontanitas begitu saja langsung kawin, akan tetapi melalui tahap, proses atau cara-cara yang sesuai pada adat yang berlaku di daerah tersebut. Pada adat dayak ransa yang melatarbelakangi adanya tradisi atau kebiasaan dalam proses perkawinan sudah dari zaman ke zaman telah diwarisi oleh nenek moyang mereka hingga turun temurun. Maka dari itu kebiasaan dalam masyrakat itu tidak bisa hilangkan dan tetap melekat dalam diri masyarakat tesebut.
Sesuai dengan perkembangan zaman cara atau proses tradisi/kebiasaan suatu masyarakat pun bisa berubah-ubah secara substansialnya, maka dari itu di harapkan masyarakat di tuntut agar bisa menyesuaikan diri dengan masyarakat lain. Hukum adat di wilayah-wilayah tertentu memiliki kelebihan dan kekurangan pada masing-masing suku, oleh karena itu di sebabkan adanya kebiasaan-kebiasaan  yang di lakukan dalam masyarakat di sesuaikan dengan tingkah laku atau tindakan-tindakan pada masyarakat itu sendiri.
Dalam adat dayak ransa perkawinan adalah hal yang sangat di sakralkan dan bukanlah peristiwa/perbuatan yang bisa di lakukan dengan semata-mata hanya sementara atau sesaat saja, artinya perkawina merupakan sesuatau yang hanya bisa di lakukan satu kali dalam seumur hidup bagi mereka baik itu seorang pria maupun seorang wanita terkecuali yang maha kuasalah yang memisahkan. Karena perkawinan menurut adat dayak ransa merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengn tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal dengan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Kebiasaan dalam perkawinan adat dayak ransa seseorang pria dan seorang wanita wajib untuk mencari pasangan hidupnya masing-masing sesuai dengan hasrat dan keinginannya tanpa unsur paksaan dari siapa pun dan bebas memilih sebagai sepasang suami istri dalam hidupnya.

1.2   Rumusan Masalah
1.       Apa pengertian dari perkawinan dalam hukum adat?
2.       Bagaimana persyaratan perkawinan adat masyarakat dayak ransa?
3.       Bagaimana system pertunangan perkawinan dalam adat dayak ransa?
4.       Bagaimana dengan biaya dalam perkawinan adat dayak ransa?


1.3   Tujuan Penulisan
Pembaca dapat mengambil dari beberapa tujuan dari penulisan makalah ini, yaitu :
1.       Untuk mengetahui pengertian dari perkawinan dalam hukum adat?
2.       Untuk mengetahui tentang persyaratan perkawinan adat dayak ransa?
3.       Untuk mengetahui system pertunangan dalam prekawinan adat dayak ransa?
4.       Untuk mengetahui biaya perkawinan adat dayak ransa?



BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pngertian Perkawinan dalam Hukum Adat
Perkawinan adalah perilaku mahluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa agar kehidupan di alam dunia berkembang baik. Perkawinan bukan terjadi di kalangan manusia saja, tetapi juga terjadi pada tumbuhan dan hewan. Oleh karena itu manusia adalah mahluk yang berakal, maka perkawinan salah satu budaya yang beraturan yang mengikuti perkembangan manusia dalam kehidupan bermasyarakat.
Dalam masyarakat adat budaya perkawinannya sederhana, sempit dan tertutup, dalam masyarakat yang tradisional. Sehingga dalam masyarakat yang sederhana dan tradisional tersebut mengikuti perkembangan zaman yang maju (modern) budaya perkawinannya pun maju, luas dan terbuka. Aturan tata-tertib perkawinan adat sudah ada sejak zaman nenek moyang terdahulu yang di pertahankan para tokoh-tokoh kepala adat dan anggota-anggota masyarakat adat setempat.
Di masyarakat dayak ransa sendiri aturan tata-tertib perkawinan sudah ada sejak zaman dahulu, sejak zaman kono bahkan masa kolonial Belanda dan sampai Indonesia telah merdeka. Budaya adat perkawinan dan aturannya yang berlaku pada suatu masyarakat adat tidak terlepas dari pengaruh budaya dan lingkungan di mana masyarakat itu berada serta pergaulan di dalam masyarakat itu sendiri. Adat itu sendiri bisa luntur atau bisa di pengaruhi pengetahuan, pengalaman, kepercayaan dan keagamaan yang di anut oleh masyarakat yang bersangkutan.
Seperti halnya dalam aturan perkawinan adat dayak ransa sendiri bisa di pengaruhi oleh adat tradisi atau budaya dari suku lain, tetapi tidak hanya antar budaya yang bisa mempengaruhi dalam system perkawinan adat tidak jarang dalam ajaran agama pun bisa mempengaruhi adat. Hal mana berakibat lain pandang lain belalang lain lubuk lain ikannya, lain masyarakat lain aturan perkawinannya. Jadi walaupun masyarakat adat suku dayak ransa merupakan bagian dari warga masyarakat Indonesia yang kini telah memiliki hukum perkawinan nasional sebagai aturan pokok, namun pada kenyataannya bahwa di kalangan masyarakat suku dayak ransa masih tetap percaya dan berlaku adat serta tata-tertib upacara perkawinannya.
Kita masih melihat berlakunya tata-tertib perkawinan bagi masyarakat adat suku dayak ransa yang bersendi dengan keturunan bapakan (patrilinear). Begitu pula kita dapat melihat bagaimana berlakunya hukum adat yang menganut seperti system dengan garis keturunan matrilinear (garis keturunan ibu) dan parental (garis keturunan bapak dan ibu/campuran). Dengan melihat dari sendi-sendi tersebut perbedaan dalam pelaksanaan hukum perkawinan itu dapat mempengaruhi cara hidup kekeluargaan, kekerabatan, dan kekaryaan seseorang dalam kehidupan masyarakat.
Berbahaigialah suatu suku yang telah memiliki adat, budaya dan tradisi perkawinan secara tersendiri, yang sifatnya bisa di katakan telah menampung sendi-sendi dan memberikan landasan hukum adat perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan berlaku bagi berbagai golongan suku adat istidat yang ada di dalam masyarakat Indonesia itu sendiri. Hal ini berarti walaupun pada pokoknya pada suku dayak ransa sudah mempunyai hokum adat perkawinan tersendiri yang berlandaskan kebiasaan dari budaya dan tradisi yang di anut namun kepercayaan itu masih tetap berlaku. Mengapa demikian, dikarenakan adat istiadatnya masih sangat kental dan kuat pengaruhnya.
Oleh karenanya jika yang berbeda bertemu dalam ikatan perkainan (campuran), sedangkan salah sau pihak masih tetap mempertahankan pegangannya, maka tidak jarang menimbulkan kesulitan dalam penyelesaian, bahkan dapat berakibat terganggunyan kerukunan berumah tangga. Dengan melihat dari pengertian tersebut maka sampailah kita pada perlunya pembahasan terhadap masalah sejauh manakah hukum adat perkawinan suku dayak ransa dalam kaitannya dengan tradisi adat istiadat lain yang masuk kedalam adat tersebut yan hukumnya bersifat lokal dari berbabagai macam hukum adat yang berlaku di kalangan masyarakat adat suku dayak ransa.
Di dalam aturan adat dayak ransa dasar perkawinan, syarat-syarat perkawinan, pencegahan perkawinan, batalnya perkawinan, perjajian perkawinan, hak dan kewajiban suami istri, harta benda dalam perkawinan, putusnya perkawinan serta akibatnya, kedudukan anak, hak dan kewajiban antara orang tua dan anak, perwalian dan ketentuan-ketentuan lain.

2.2 Persyaratan Perkawinan
Aturan adat pada masyarakat suku dayak ransa seorang pria yang di katakan sudah dewasa atau dengan kata lain yang umurnya sudah cukup untuk kawin dengan seorang wanita paling tidak umurnya tujuh belas tahun keatas. Sedangkan pada seorang wanita batas umur boleh kawin minimal enam belas tahun keatas, karena pada usia tersebut baik pria maupun wanita dalam hukum adat dayak ransa sudah di anggap cukup dewasa.
Maka melihat dari umur tersebut hukum adat yang berlaku di masyarakat tersebut boleh melangsungkan perkawinan yang sah sesuai dengan adat yang ada. Namun bagi masyarakat adat dayak ransa dalam melangsungkan perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita umur bukanlah suatu penilaian atau keriteria tertentu, pada intinya seseorang baik pria maupun wanita harus siap untuk kawin dan menjalani masa depan keluarga. Artinya seorang pria dan seorang wanita dapat melangsungkan perkawinannya tanpa ada paksaan, tetapi siap dalam membangun, membina rumah tangga dan bertanggung jawab dalam keluarga rumah tangga mereka.
Pada umumnya apabila seorang pria yang ingin melamar seorang wanita yang dalam bahasa ransanya betonyak (meminang) seorang pria harus mempersiapkan terlebih dahulu perlengkapan yang notabenenya berupa barang yang nantinya harus diserahkan kepada pihak perempuan, yang di maksud dengan barang-barang yang di serahkan dari pihak laki-laki kepada perempuan, yang sekiranya berupa alat-alat perlengkapan yang biasa dan layak di pakai seorang wanita misalnya; seperti kain, handuk, celana, baju, alat-alat mandi seperti sabun dan sejenisnya juga berupa kosmetik dan lain-lain. Jadi pertama-tama yang harus di persiapkan seorang pria apabila ingin melamar seorang wanita barang-barang yang sudah di sebutkan di atas harus benar-benar ada dan itu akan menguatkan bahwa seorang pria/laki-laki tersebut benar-benar sudah siap untuk kawin serta bertanggung jawab.
Ketika sudah di pastikan bahwa seorang pria menyanggupi permintaan sebagai persyaratan utama yang sudah di anggap terpenuhi oleh seorang Temenggung (kepala adat/ketua adat) dengan mempertimbangkan keabsahannya demi memenuhi syarat, maka proses dari betonyak (pelamaran) tersebut bisa di lanjutkan. Walaupun dalam proses betonyak (pelamaran) tersebut tidak berjalan mulus, dalam arti ketika seorang wanita tidak menerima lamaran seorang pria  secara otomatis barang tersebut tetap di berikan ke pihak perempuan dan tidak di kembalikan lagi pada laki-laki yang melamar tersebut. Karena atas dasar apa yang sudah di perdengarkan ke masyarakat lain, bahwasanya seorang pria akan melamar seorang wanita, maka di situ terjadi adat basa sopan santun, artinya jika orang akan melangsungkan perkawinan bagi suku dayak ransa itu merupakan hal yang sangat sakral dan bukan hal yang main-main, apabila dalam penyelenggarannya perkawinan itu batal maka secara tidak langsung dari pihak keluarga merasa adanya tekanan batin atau di kucilkan dalam hal ini berkaitan dengan perasaan si keluarga perempuan.
Adapun syarat-syarat lain yang biasa di lakukan ketika betonyak berkaitan dengan tempat seorang pria yang ingin melamar seorang wanita terutama pihak dari laki-laki harus datang di tempat kediaman (domisili) si perempuan. Dari syarat yang telah di kemukakan di atas, adapun syarat lain seorang pria maupun wanita yang akan melangsungkan pelamaran keduanya tidak terikat pada yang lain, maksudnya pria atau wanita tersebut ketika akan berlangsungnya pelamaran maka di pastikan keduanya sama-sama bebas dari ikatan atau hubungan dengan laki-laki maupun perempuan lain.

2.3 Masa Pertunangan (Tunang/meminang)
                Setelah melakukan proses betonyak (pelamaran) pada perkawinan tersebut keduanya sudah sah dan lamaran pria di terima oleh wanita maka tahap selanjutnya adalah kedua belah pihak membuat perjanjian atau kesepakatan untuk betunang (pertunagan). Dalam hukum adat ransa apabila seorang pria melamar seorang wanita dan lamaran tersebut di terima, tidak bileh serta-merta di nikahkan akan tetapi harus ada masa-masa tunang (pertunangan).
                Masa pertunangan bervariasi maksudnya tenggang waktu untuk di nikahkan kedua mempelai tergantung kesepakatan antara pihak laki-laki dan perempuan. Masa tenggang waktu perkawinan mempelai menurut adat setempat minimal tiga bulan dan paling lama maksimal satu tahun harus di nikahkan, karena menurut adat yang di yakini di masyarakat ransa pertunangan merupakan sesuatu keharusan agar para pihak seorang pria dan seorang wanita maupun keluarga kedua belah pihak tersebut saling mengenal satu sama lainnya. Dengan di beri waktu untuk mengenal lebih jauh dan lebih dalam lagi masing-masing para pihak yang terikat dalam hal ini ialah pertunangan.
                Pada adat perkawinan masyarakat suku dayak ransa, tunang (pertunagan) merupakam keharusan, agar pendekatan secara kekerabatan dan kekeluargaan antara pihak laki-laki dengan pihak perempuan terjalin hubungan yang harmonis. Jika tidak ada proses pertunangan yang di khawatirkan adalah muncul suatu kejanggalan-kejanggalan dari para pihak, maka dari itu dengan adanya tunang (pertunangan) pihak yang mengikatkan diri khususnya pria dan wanita di harapkan saling menjaga hubungannya supaya tidak terjadi hal-hal yang tidak di inginkan sebelum pernikahan berlangsung.
2.3 Proses Pelaksanaan Perkawinan
                Dari betonyak (pelamaran) kemudian betunang(pertunangan) sampai menjelang hari pernikahan, berbagai proses di lalui dan tahap demi tahap yang di lewati, pada perkawinan suku ransa berlangsungnya suatu upacara pernikahan biasanya pada bulan enam. Upacara adat perkawinan kebayakan di lakukan pada masa pegoai adant dayak (gawai adat dayak/pesta adat dayak) yaitu pesta yang di lakukan secara serentak atau bersamaan dengan tetangga yang ada di sekitarnya.
                Jadi pesta pernikahan atau perkawinan pada umumnya kebanyakan di lakukan pada saat gawai dayak atau pesta adat tiba yaitu setelah selesai musim panen padi, mengapa demikian karena pesta tersebut hanya di selenggarakan satu tahun sekali. Berlangsungnya upacara perkawinan bersama dengan meramaikan perayaan adat gawai dayak itu secara tidak langsung akan meringankan biaya perkawinan, maka dari itu perkawinan suku dayak ransa dominan berlangsung atau bertepatan dengan perayaan adat gawai musim panen telah usai. Dalam tradisi upacara perkawinan adat ransa ada beberapa kali tahap dalam perkawinan yaitu;

A.      Perkawinan pertama
Yang di maksud dengan perkawinan pertama ialah di mana serorang pria yang belum pernah menikah artinya baru pertama kali kawin begitu juga sebaliknya seorang wanita juga baru kawin, akat nikah dilaksanakan atau berlangsungnya suatu perkawinan bertempatkan di domisili perempuan. Karena menurut adat setempat khususnya pada suku ransa dalam melangsungkan perkawinan harus di domisili perempuan dan tidak mungkin di nikahkan di domisili laki-laki, sebab kalau seandainya itu terjadi di mana kehormatan seorang wanita yang seolah-olah menjual harga diri.

B.      Perkawinan ke dua atau menoik
Setelah terselenggaranya suatu perkawinan terdahulu/pertama, ada perkawinan kedua yang di laksanakan di domisili laki-laki yang di sebut dengan menoik. Upacara perkawinan ini merupakan suatu balasan dari orang tua laki-laki dan berlangsungnya upacara perkawinan ini bertempat (didomisili) laki-laki, karena mereka menganggap menoik itu adalah suatu kehormatan bagi pihak keluarga tersebut jika terselenggarakannya perkawinan (menoik). Sebab kalau menoik bagi orang tua laki-laki merupakan menyambut kedatangan seorang menantu yang masuk kedalam bagian keluarga mereka yang baru. Menoik tidak di tentukan kapan waktunya, dan itu bisa di laksanakan kapan saja walau pun mereka sudah punya anak juga masih tetap bisa di lakukukan, karena menoik adalah perkawinan yang di pertanggung jawab kan orang tua laki-laki yang artinya semua beban perkawinan di biayai orang tua tersebut.

C.       Perkawinan sakramen
Perkawinan ini adalah perkawinan yang di sahkan oleh agama dan di sakralkan oleh gereja. Walau pun mereka memiliki adat yang sangat kental namun kepercayaan mereka tetap ada yaitu percaya akan agama atau Tuhan, karena bagi suku ransa kepercayaan akan agama atau Tuhan harus di imbangi dengan kepercayaan terhadap tradisi adat yang berlaku dan keduanya tetap sama-sama dijalankan. Dalam perkawinannya terhadap agama pun mereka tidak mengabaikan, karena setelah melaksanakan perkawinan adat suku ini tetap melangsungkan perkawinan di gereja atau perkawinan sakaramen. Kerena bagaimana pun mereka adalah bagian dari bangsa Indonesia di mana seseorang bangsa Indonesia itu sendiri harus tunduk kepada aturan-aturan dan norma-norma hukum yang berlaku di negeri ini.


2.4 Biaya Perkwinan (Adant)
                System perkawinan di mana saja dan suku apa pun di Indonesia termasuk adat suku dayak ransa ketika mengadakan suatu upacara perkawinan tentu sedikit banyak tetap mengeluarkan/membutuhkan biaya yang sesuai dengan aturan adat yang berlaku di suatu daerah tertentu dan tidak terkecuali suku ransa itu sendiri. Dari semua biaya perkawinan itu di tanggung oleh pihak laki-laki, biaya atau maskawin dalam perkawinan pada adat masyarakat setempat yang harus di bayar oleh pihak laki-laki kepada seorang perempuan biasanya berupa uang juga berupa benda maupun barang yang di anggap masih berharga, itulah yang di namakan adat atau adant kawin  yang berlaku di wilayah atau daerah tersebut.
                Adat perkawinan tersebut tidak hanya hanya berupa satu seperangkat alat maskawin saja namun bermacam-macam jenisnya, masing-masing seperangkat maskawin atau adant kalau di uangkan bervariasi nilainya dengan kata lain di ulun/ulutkan. Dalam adat itu ada yang namanya Ulun atau ulut yang artinya ketika seseorang di dalam lingkungan masyarakat dayak ransa melakukan suatu pelanggaran atau masalah yang di anggap melanggar adat mereka maka hal semacam itu harus di beri sanksi atau sanksi adat. Ketika perbuatan yang di anggap melanggar adat tentu ada sanksinya atau lebih tepatnya denda pelanggar adat, apabila perbuatan yang melanggar adat secara otomatis ada ulunnya.
                Ulun itu ibaratkan pasal yang mengatur banyak atau sedikitnya denda pada orang-orang atau individu yang melawan/melanggar aturan-aturan adat, jadi hitungannya satu ulun/ulut apabila di langgar oleh pemegang subyek dan itu di nilaikan dengan mata uang/rupiah denda ini sekitar kurang lebih 400.000,-00 (empat ratus ribu rupiah) per ulunnya. Sedangkan adat perkawinan dayak ransa seorang laki-laki harus membayar kepada seorang wanita dengan ulun sebesar 12 (dua belas ulun) ulun, sebab adat perkawinan dala perhitungannya harus dua belas ulun. Apabila  dua belas ulun ini di nilaikan dengan rupiah perhitungan nominalnya yaitu 4.800.000,-00 (empat juta delapan ratus ribu rupiah). Jadi kurang lbih seperti itulah perhitungan rincian dari biaya perkawinan suku dayak ransa yang harus di bayar oleh pihak laki-laki kepada perempuan yang akan di kawinkannya itu. Dari pihak laki-laki apabila sudah menyelesaikan perhitungan adat dan di tetapkan sebanyak dua belas Ulun oleh ketua adat setempat, di harapkan agar membayar serta menyerahkan langsung uang atau pun barang kepada pihak perempuan untuk membiayai pesta perkawinan yang akan di berlangsungkan tersebut.


BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
                Dari pembahasan mengenai hokum adat ini maka dapat di ambil kesimpulan yaitu bahwa hokum adat yang berlaku di masyarakat dayak ransa dengan memakai system patrilinear. Walaupun sudah memasuki zaman era yang modern seperti sekarang ini masyarakat dayak ransa masih tetap memegang teguh serta menjalankan adat mereka dari apa yang telah diwarisi nenek moyang mereka terdahulu.

3.2         Saran
                Adapun saran yang dapat penulis berikan adalah bahwa masyarakat Indonesia jangan sampai adat istiadat yang ada di hilangkan terutama bagi suku-suku yang ada di pedalaman yang adatnya masih sangat kental pertahankan adat-adat tersebut dan jangan terpengaruh oleh budaya-budaya asing, karena adanya adat atau budaya merupakan salah satu identitas dan jati diri bangsa.


DAFTAR PUSTAKA


Data hasil penelitian lapangan dan wawancara langsung dengan kepala adat suku dayak ransa.

1 komentar: