This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Berikan yang terbaik untuk hari ini

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Senin, 22 April 2013

Pembagian Waris Menurut Hukum Adat Jawa

Pertanyaan :
Ibu saya telah meninggal dan mempunyai anak sebanyak 7 orang dari suami yang berbeda, saya selaku anak (laki-laki) pertama dari suami pertama namun tidak ikut ibu saya dari saya masih bayi (tidak dibesarkan langsung). Apakah saya masih mempunyai hak waris? Ibu saya memiliki rumah di atas tanah warisan dari nenek. Pertanyaan: Bagaimanakah pembagian warisnya menurut hukum adat (ahli warisnya yaitu 2 orang laki-laki dan 5 orang perempuan), dan apakah suaminya pun dapat hak waris jugakah?

Jawaban :

EVI RISNA YANTI, SH


SaudariJenny, terima kasih atas pertanyaannya.
 
Sedikit ingin menggali keterangan dari Anda, karena saya kira ada yang harus dilengkapi dari pertanyaan di atas. Jika memang pertanyaan tersebut terkait dengan hukum adat, maka sebaiknya perlu ditambahkan keterangan, hukum waris adat suku apa yang Anda maksudkan dalam contoh di atas.
 
Saya ingin mengutipkan pengertian hukum waris adat yang disebutkan oleh Supomo, yang mana menurutnyahukum adat waris memuat beberapa aturan yang mengatur proses penerusan serta pengoperan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda dari suatu angkatan manusia kepada turunannya.
 
Hukum waris adat memuat tiga unsur pokok, yaitu:
1.    Mengenai subyek hukum waris, yaitu siapa yang menjadi pewaris dan siapa yang menjadi ahli waris.
2.     Mengenai kapan suatu warisan itu dialihkan dan bagaimana cara yang dilakukan dalam pengalihan harta waris tersebut. Serta bagaimana bagian masing-masing ahli waris.
3.     Mengenai obyek hukum waris itu sendiri, yaitu tentang harta apa saja yang dinamakan harta warisan, serta apakah harta-harta tersebut semua dapat diwariskan.
 
Di dalam masyarakat adat Indonesia, secara teoritis sistem kekerabatan dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu:
1.         Sistem Patrilineal,
2.         Sistem Matrilineal, dan
3.         Sistem Parental atau bilateral.
 
Ad.1. Sistem Patrilineal adalah sistem kekerabatan yang menarik garis dari Pihak Bapak, maksudnya dalam hal ini setiap orang hanya menarik garis keturunan dari Bapaknya saja. Hal ini mengakibatkan kedudukan pria lebih menonjol pengaruhnya daripada wanita dalam hal mewaris. Sistem ini dianut oleh suku-suku seperti, Batak, Gayo, Nias, Lampung, Seram, NTT dan lain-lain.
 
Ad.2. Sistem matrilineal adalah sistem kekerabatan yang ditarik dari garis Pihak Ibu. Sehingga dalam hal kewarisan kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya dari pada garis Bapak. Sistem kekerabatan ini dianut oleh masyarakat Minangkabau, Enggano dan Timor.
 
Ad.3. Sistem parental/bilateral adalah sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari kedua belah pihak Bapak dan Ibu, sehingga kedudukan anak laki-laki dan anak perempuan dalam hal mewaris adalah seimbang dan sama. Masyarakat yang menganut sistem ini misalnya Sumatera Timur, Sumatera Selatan, Riau, Kalimantan dan lain-lain.
 
Secara umum, asas pewarisan yang dipakai dalam masyarakat adat bergantung dari jenis sistem kekerabatan yang dianut. Namun menurut Hazairin, hal itu bukan suatu hal yang paten. Artinya, asas tersebut tidak pasti menunjukkan bentumasyarakat di mana hukum warisan itu berlaku. Seperti misalnya, asas individual tidak hanya ditemukan pada masyarakat yang menganut sistem bilateral, tetapi juga ditemukan pada masyarakat yang menganut asas patrilineal, misalnya pada masyarakat Batak yang menganut sistem patrilineal, tetapi dalam mewaris, memakai asas individual.
 
Jika kita mengambil contoh Suku Jawa yang hukum adat-nya bersistem parental, maka terhadap permasalahan di atas, hal-hal yang menjadi catatan kita adalah:
a.         Saudara adalah anak kandung dari Suami Pertama.
b.         Saudara tidak tinggal bersama secara langsung.
c.         Ibu Saudara memiliki anak-anak lagi dari hasil perkawinannya yang sekarang sebanyak 6 orang.
d.         Sehingga jumlah keseluruhan anaknya adalah 7 orang, yang mana jumlah anak laki-laki 2 dan anak perempuan 5, serta meninggalkan seorang suami.  
e.         Warisan Ibu berasal dari neneknya, artinya bukan berasal dari harta bersama dengan suami kedua-nya, artinya harta tersebut adalah harta bawaan, yang akan diwariskan kepada anak keturunannya.
 
Di dalam masyarakat Jawa, semua anak mendapatkan hak mewaris, dengan pembagian yang sama, tetapi ada juga yang menganut asas sepikul segendongan (Jawa Tengah), artinya anak laki-laki mendapatkan dua bagian dan anak perempuan mendapatkan satu bagian, hampir sama dengan pembagian waris terhadap anak dalam Hukum Islam.
 
Pada dasarnya, yang menjadi ahli waris adalah generasi berikutnya yang paling karib dengan Pewaris (ahli waris utama) yaitu anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga (brayat) si Pewaris. Terutama anak kandung. Sementara untuk anak yang tidak tinggal bersama, tidak masuk ke dalam ahli waris utama. Tetapi ada juga masyarakat Jawa (Jawa Tengah), yang mana anak angkat (yang telah tinggal dan dirawat oleh orang tua angkatnya) mendapatkan warisan dari kedua orang tuanya, baik orang tua kandung atu angkat.
 
Jika anak-anak tidak ada, maka kepada orang tua dan jika orang tua tidak ada baru saudara-saudara Pewaris.
 
Demikianlah yang dapat saya sampaikan, semoga berkenan dan bermanfaat.

II. Hukum Kekeluargaan

II. Hukum Kekeluargaan

1. Perkawinan
Didalam KUHPer tidak dijelaskan definisi perkawinan, UU hanya mejelaskan tentang syarat syahnya suatu perkawinan apabilah telah memenuhi syarat yang ditetapkan dalam UU tersebut, sebagaimana diatu dalam pasal 26 KUHPer.

Definisi Perkawinan :
- Prof. Subekti : Perkawinan ialah pertalian antara seorang laki-laki dengan seorang wanita untuk waktu yang lama
- Doktrin : Perkawinan ialah suatu persekutuan antara seorang pria dengan seorang wanita yang diakui sah oleh peraturan Negara yang bertujuan untuk menyelenggarakan hidup yang abadi.
- UU No. 1 Tahun 1974 :
Pasal 1 Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pasal 1 (2) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.

KONSEPSI PERKAWINAN

Menurut KUHPer :
Pasal 26, sahnya perkawinan hanya dipandang dari perdatanya, artinya suatu perkaiwan adalah sah apabila telah memnuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam UU tanpa memperhatikan segi agama, biologis, dan motif-motif yang mendorong perkawinan itu. Dan KUHPer menganut asas monogami mutlak yaitu seorang suami hanya boleh mempunyai seorang isteri dalam waktu sama dan sebaliknya.

Menurut UU No. 1 Tahun 1974
Pasal 1 dan 2 konsepsi perkawinan ialah Perkawinan itu tidak hanya dilihat dari segi hubungan keperdataan saja, juga harus memperhatikan segi-segi lain yaitu segi agama yang memegang peranan penting, segi adapt-adat dan motif-motif yang mendorong perkawinan tersebut. UU. No. Tahun 1974 menganut asas Monogami tidak mutlak atau relative, artinya seorang suami dimungkinkan beristeri lebih dari satu dengan persyaratan-persyaratan tertentu

2. Syarat-syarat Perkawinan

Syarat Menurut KHUPer, dibedakan menjadi :
A. Syarat Materil
a. Syarat materil umum/pokok/absolute ekstrem
i. Adanya kata sepakat antara kedua calon sumai-isteri
ii. Batas usia
iii. Masing-masing pihak tidak dalam tempat terikat perkawinan
iv. Untuk seorang perempuan yang sudah pernah kawin, harus lewat 300 hari setelah perceraiannya.
v. Tidak ada larangan dalam UU untuk kedua belah pihak melangsungkan perkawinan tersebut.
vi. Bagi para pihak yang belum dewasa harus ada izin dari orang yang berhak memberikannya.

b. Syarat materil khusus/relative/intern
1. Tentang Larangan Kawin
i. Adanya hubungan keluarga yang erat menurut garis lurus keatas, kebawah dan menyampng
ii. Adanya hubungan keluarga sementara
iii. Dengan teman berzina
iv. Perkawinan ketiga kalinya, artinya diantara mereka sudah pernah membubarkan perkawinan dua kali

2. Tentang Izin Kawin
Izin diperlukan bagi anak yang belum cukup umur

B. Syarat Formil
1. Syarat Formil sebelum melangsungkan Perkawinan
i. Pihak-pihak yang akan melangsungkan perkawinan harus menyatakan niatnya kepada pegawai negeri sipil.
ii. Pengumuman oleh pegawai negeri sipil
iii. Perkawinan tidak boleh dilangsungkan sebelum 10 hari sesudah pengumuman dan paling lama 1 (satu) tahun setelah pengumuman.

2. Syarat Formil sesudah melangsungkan Perkawinan
Perkawinan tersebut harus dilangsungkan dihadapan pegawai catatan sipil dengan maksud :
i. Memberi sifat terbuka pada perkawinan tersebut
ii. Memberi kesempatan keda pihak-pihak yang berkepentingan untuk mengadakan pencegahan perkawinan.
iii. Mencegah adanya perkawinan gelap, menjamin adanya perkawinan yang sah, mencegah perkawinan tergesa-gesa.
iv. Menjamin pejabat catatan sipil untuk tidak dengan mudah melangsungkan perkawinan.

Syarat Menurut UU No. 1 Tahun 1974
A. Syarat Materil
1. Syarat Materil Umum :
2. Syarat Materil Khusus :
B. Syarat Formil

Pencegahan Perkawinan

Baik KUHPer maupun UU No. 1 Tahun 1974 menganut system Imutatif dalam mengatur pencegahan perkawinan yaitu : Adanya pembatasan-pembatasan terhadap alasan-alasan yang dapat digunakan untuk mengajukan pencegahan.

Selanjutnya ada yang disebut dengan Pembatalan Perkawinan yaitu upaya hukum untuk membatalkan perkawinan yang telah dilaksanakan karena bertentangan dengan aturan Per UUan Perkawinan, Ex : Tidak memenuhi syarat meteril dan formil.

Adapun alasan untuk menuntut pembatalan :

Menurut KUHPer :
- Adanya bigamy
- Tidak ada persetujuan bebas
- Melanggar batas usia
- Pelanggaran pasal 33 KUHPer

Menurut UU No. 1 Tahun 1974
- Pelanggaran terhadap pasal 6, 7, 8, 10, 11
- Masih ada perkawinan meskipun tidak menggunakan pasal 3 ayat 2 dan pasal 4 UU Perkawinan.
- Terjadinya salah sangka terhadap suami/isteri

Orang-orang yang berhak menuntut :
- Keluarga dalam garis lurus keatas dari suami atau isteri
- Suami atau Isteri
- Pejabat yang berwenang
- Pejabat yang ditunjuk
- Orang yang masih terkait dirnya dengan salah satu pihak dari kedua suami-isteri.

Mengenai akibat pencegahan perkawinan dan pembatalan, bila ada pencegahan perkawinan maka selama pencegahan itu belum dicabut dari pengadilan maka perkawinan tidak dapat dilangsungkan.

Akibat Pembatalan Perkawinan :
- Anak yang dilahirkan tetap menjadi anak sah.
- Selam belum ada pembatalan, perkawinan tetap berlangsung (artinya belum ada putusan pengadilan)
- Pihak-pihak lain yang telah memperoleh hak-hak dengan itikad baik dengan suami-isteri dianggap sah.

Kamis, 10 September 2009

HUKUM PERORANGAN DAN HUKUM KEKELUARGAAN (BUKU I) BAGIAN I

HUKUM PERORANGAN DAN HUKUM KEKELUARGAAN
BUKU SATU - BAGIAN SATU
I. Hukum Perorangan (Hukum Pribadi)
Hukum Perorangan dalam arti luas :
Ketentuan-ketentuan mengenai orang sebagai subjek hukum dan kekeluargaan
Hukum Perorangan dalam arti sempit :
Ketentuan-ketentuan orang sebagai subjek hukum saja
Subjek Hukum
Sebelumnya didalam Buku I BW disebut subjek hukum hanya orang (pribadi kodrati) tidak termasuk badan hukum, namun selanjutnya dalam perkembangan selanjutnya, badan hukum telah dimasukan sebagai subjek hukum yang disebut dengan Pribadi Hukum.
Badan Hukum tidak tercantum didalam Buku I BW karena orang mempelajari masalah badan hukum, setelah kodifikasi BW dibuat dengan demikian badan hukum kedalam golongan subjek hukum, dengan demikian Subjek Hukum terdiri dari :
  1. Orang (Pribadi Kodrati)
  2. Badan Hukum (Pribadi Hukum)
Subjek Hukum :
Setiap penyandang/pendukung hak dan kewajiban, artinya undang-undang memberi wewenang untuk memiliki, memperoleh dan menggunakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban didalam lalu lintas hukum.
Orang (Pribadi Kodrati)
Orang sebagai subjek hukum adalah mulai sejak dilahirkan hidup sampai meninggal dunia, terdapat perluasan hukum sebagaimana diatur dalam pasa 2 KUHPer yang menyatakan “bayi yang berada dalam kandungan ibunya dianggap telah dilahirkan hidup, jika ada kepentingan si anak (bayi) yang menghendakinya. Namun apabila mati sewaktu dilahirkan dianggap tidak pernah ada (pengertian subjek hukum diperluas).
Pasal 2 KUHPer tersebut berlaku apabila memenuhi syarat-syarat :
  1. Si anak dibenihkan pada saat adanya kepentingan si anak timbul
  2. Si anak harus hidup pada saat dilahirkan, arti hidup bahwa anak itu bernafas.
  3. Adanya kepentingan si anak yang menhendaki bahwa anak itu dianggap telah lahir.
Tujuan ketentuan tersebut oleh pembuat undang-undang adalah melindungi kepentingan masa depan sia anak yang masih didalam kandungan ibunya, dmana pada suatu waktu ada kepentingan anak yang timbul dan kemudian anak itu dilahirkan hidup.
Walaupun setiap orang adalah subjek hukum namun tidaklah setiap orang dapat melakukan perbuatan hukum/tidak cakap hukum, menurut pasal 1330 BW ada beberapa golongan orang yang oleh hukum dianggap tidak cakap dalam arti hukum, yakni :
  1. Orang-orang belum dewasa (dibawah umur). Dewasa menurut hukum adalah orang-orang yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun keatas atau yang telah/pernah kawin.
  2. Orang-orang yang ditaruh dibawah pengampuan (curatele), antara lain :
a. Orang-orang yang terganggu jiwanya
b. Orang-orang yang tidak normal fisiknya
c. Orang-orang tertentu karena pemboros
  1. Wanita yang telah berseuami (golongan ini tidak berlaku di Indonesia berdasarkan SEMA RI No. 3 tahun 1963 yang kemudian dipertegas dengan UU No. 1 tahun 1974 sebagaimana diatur dalam pasal 34,35 dan 36)
Kedudukan seseorang sebagai subjek hukum dapat dipengaruhi oleh beerapa factor, antara lain :
  1. Usianya
Artinya sebelum mencapai usia 21 tahun sesoarang belum cakap dalam arti hukum, kecuali pernah kawin
  1. Kelamin
Menurut pasal 29 BW untuk bisa melakukan perkawinan, bagi para pria harus berusia 18 tahun dan wanita 15 tahun dengan ketentuan sudah ada izin dari orang tua yang berhak memberinya. Menurut pasal 7 UU No. 1 tahun 1974 pria 19 tahun dan wanita 16 tahun.
  1. Keturunan
Dibedakan antara anak sah dan anak luar kawin yang belum diakui sah.
  1. Kewarganegaraan
Ada perbedaan WNI dengan WNA untuk memperoleh hak dan melakukan perbuatan hukum diwilayah RI
  1. Perkawinan
Dengan melakukan perkawinan dapat menjadi dewasa, dulu, wanita yang melakukan perkawinan menjadi tidak cakap dalam arti hukum.
  1. Pengampuan
Setiap orang dibawah pengampuan menjadi tidak cakap dalam arti hukum.
Teori-teori tentang Badan Hukum
Badan hukum dipersamakan dengan orang sebagai subjek hukum berdasarkan teori-teori sebagai berikut :
  1. Teori Fictie
Teori ini di pelopori oleh FC. Von Savigny, menyatakan bahwa badan hukum merupakan kumpulan dari orang-orang yang dapat digugat dan menggunggat melalui pengurusnya. Kalau orang memliki anggota badan seperti kepala, tangan dan kaki sebagai alat, bada hukum juga mempuanyai anggota badan yaitu : direksi, komisaris dan staff sebagai alat menggerakan badan hukum tersebut dalam beraktifitas, sebagaiman berdasarkan haltersebut maka badan hukum secara fisik dipersamakan dengan orang sebagai subjek hukum.
  1. Teori Kekayaan
Suatu badan hukum dapat dikatakn menjadi subjek hukum apabila badan hukum itu mempunyai kekayaan tersendiri yang diperuntukan untuk suatu tujuan tertentu dari kelompok orang-orang yang terhimpun dalam badan hukum itu.
  1. Teori Organ
Suatu badan hukum dapat dikatakan sebagai subjek hukum apabila badan hukum itu mempunyai kemauan untuk tujuan tertentu yang dilaksankan melalui organ-organya yaitu pengurusnya.
  1. Teori Milik Bersama
Suatu badan hukum dapat dikatakan sebagai subjek hukum apabila segala hak dan kewajiban dari badan hukum itu pada hakekatnya adal hak dan kewajiban dari seluruh orang yang tergabung dalam badan hukum tersebut.
Akta Catatan Sipil
Diatur dalam Buku I Bab Kedua, mulai dari pasal 4 s/d 16 BW. Pada umumnya manusia mulai sejak lahir sampai meninggal dunia (selama hidupnya) akan berhadapan dengan lima peristiwa penting yang dapat mempengaruhi status dan kedudukannya didalam lalu lintas hukum. Kelima peristiwa penting itu wajib didaftarkan ke kantor catatan sipil guna mendapatkan legalisasi, demi mendapatkan kepastian dan kejelasan status dan kedudukan seseorang tersebut.
Kelima Peristiwa tersebut antara lain :
  1. Kalhiran
  2. Pengakuan anak yang lahir di luar perkawinan
  3. Perkawinan
  4. Perceraian
  5. Kematian
Dengan didaftakanya kelima peristiwa tersebut akan memperoleh akta catatan sipil yang mempunya kekuatan yuridis dan kekuatan pembuktian, yaitu suatu kekuatan hukum untuk memberi kepastian selengkap-lengkapnya dan sebesar-besarnnya tentang kelima peristiwa tersebut diatas diri seseorang.
Tentang kekuatan pembuktian undang-undang tidak memberi penjelasan tentang kekuatan [embuktian dari suatu akta catatan. Tapi dianut suatu pendapat bahwa kutipan daftar akta catatan sipil itu mempunyai kekuatan pembuktian bersifat materil dan formil.
ASSER dan SCHOLTEN menyatakn bahwa pembentuk undang-undang sengaja tidak memberi penjelasan dengan maksud diberikan suatu kekuatan pembuktian khusus terhadap kutipan dari daftar catatan sipil itu
Ex : Tentang embagian harta warisan
Yang berhak memperoleh harta warisan ialah keturunan dan keluarga pewaris. Untuk membuktikan seseorang itu adalah anak sah dari pewaris dengan mempergunakan akta kelahiran.
KUHPer (BW) hanya mengatur ketentuan-ketentuan catatan sipil unutk warga Negara Eropa saja, menurut pasal 4 BW, bahwa untuk warga Negara keturunan Eropa diperlukan 5 jenis daftar catatan sipil :
  1. Daftar Kelahiran
  2. Daftar Pemberitahuan Perkawinan
  3. Daftar Isian Nikah
  4. Daftar Perkawinan dan Perceraian
  5. Daftar Kematian
Bandingkan dengan kelima akta catatan sipil diatas yang berlaku di Indonesia.
Tempat Kediaman (Domisili)
Diatur pada BUku I Bab VII pasal 17 s/d 25 BW, sebagai dasar hukum tempat kediaman (tempat tinggal) adalah pasal 17 BW “Setiap orang dianggap mempunyai tempat tinggalnya, dmana ia menempatkan pusat kediamannya. Dalam hal ini tidak adanya tempat tinggal yang demikian maka tempat kediaman sewajarnya dianggap sebagai tempat tinggal”.
Seluruh tempat kediaman dapat dikelompokan kedalam beberapa jenis, antara lain :
  1. Tempat kediaman sesungguhnya (umum) : tempat kediaman sehari-hari dalam melakukan wewenang perdata pada umumnya.
a. Tempat kediaman sukarela atau berdiri sendiri atau bebas
b. Tempat kediaman wajib tergantung pada orang lain Ex. Pasal 106 ayat 2 BW :
Orang yang termasuk dalam tempat kediaman wajib atau tergantung pada kediaman orang lain :
i. Para Isteri
Tempat kediamannya adalah tempat kediaman suami dengan tidak dalam keadaan pisah meja atau pisah ranjang.
ii. Anak dibawah umur (Minderjaringen)
Tempat kediamannya adalah salah satu orang tuanya atau walinya.
iii. Anak Dewasa (Meerdejaringan) dibawah pengampuan (Curatele)
Tempat kediamannya adalah tempat kediaman kuratornya atau pengamunya.
iv. Buruh (Arbeiders)
Menurut pasal 22 BW, para buruh bertempat kediaman dirumah majikannya, apabila mereka ikut itnggal bersama masjikannya.
Menurut pasal 21 BW, kalau wanita yang telah bersuami, tempat kediamannya adalah tempat kediaman suami, walaupun isteri tinggal dirumah majikannya.
  1. Tempat kediaman yang dipilih atau khusus : tempat kediaman yang ditunjuk oleh salah satu pihak atau lebih dalam hubungannya melakkan perbuatan hukum tertentu. Ex : Jual beli, dapat dipilih sebagai tempat pembayaran di kantor Notaris.
  1. Tempa kediaman pegawai umum (pasal 20 BW) yaitu tempat pekerjaan atau tempat jabatan.
  1. Tempat tinggal orang yang meninggal dunia (pasal 23 BW) yaitu tempat tinggal terakhir seseorang didalam hidupnya, Tempat kediaman ini sangat penting, umpamanya dalam hubungan masalah pewarisan.

Kamis, 27 Agustus 2009

Hukum Perorangan dan Hukum Kekeluargaan (Buku I)

I. Hukum Perorangan (Hukum Pribadi)
Hukum Perorangan dalam arti luas :
Ketentuan-ketentuan mengenai orang sebagai subjek hukum dan kekeluargaan
Hukum Perorangan dalam arti sempit :
Ketentuan-ketentuan orang sebagai subjek hukum saja
Subjek Hukum
Sebelumnya didalam Buku I BW disebut subjek hukum hanya orang (pribadi kodrati) tidak termasuk badan hukum, namun selanjutnya dalam perkembangan selanjutnya, badan hukum telah dimasukan sebagai subjek hukum yang disebut dengan Pribadi Hukum.
Badan Hukum tidak tercantum didalam Buku I BW karena orang mempelajari masalah badan hukum, setelah kodifikasi BW dibuat dengan demikian badan hukum kedalam golongan subjek hukum, dengan demikian Subjek Hukum terdiri dari :
  1. Orang (Pribadi Kodrati)
  2. Badan Hukum (Pribadi Hukum)
Subjek Hukum :
Setiap penyandang/pendukung hak dan kewajiban, artinya undang-undang memberi wewenang untuk memiliki, memperoleh dan menggunakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban didalam lalu lintas hukum.
Orang (Pribadi Kodrati)
Orang sebagai subjek hukum adalah mulai sejak dilahirkan hidup sampai meninggal dunia, terdapat perluasan hukum sebagaimana diatur dalam pasa 2 KUHPer yang menyatakan “bayi yang berada dalam kandungan ibunya dianggap telah dilahirkan hidup, jika ada kepentingan si anak (bayi) yang menghendakinya. Namun apabila mati sewaktu dilahirkan dianggap tidak pernah ada (pengertian subjek hukum diperluas).
Pasal 2 KUHPer tersebut berlaku apabila memenuhi syarat-syarat :
  1. Si anak dibenihkan pada saat adanya kepentingan si anak timbul
  2. Si anak harus hidup pada saat dilahirkan, arti hidup bahwa anak itu bernafas.
  3. Adanya kepentingan si anak yang menhendaki bahwa anak itu dianggap telah lahir.
Tujuan ketentuan tersebut oleh pembuat undang-undang adalah melindungi kepentingan masa depan sia anak yang masih didalam kandungan ibunya, dmana pada suatu waktu ada kepentingan anak yang timbul dan kemudian anak itu dilahirkan hidup.
Walaupun setiap orang adalah subjek hukum namun tidaklah setiap orang dapat melakukan perbuatan hukum/tidak cakap hukum, menurut pasal 1330 BW ada beberapa golongan orang yang oleh hukum dianggap tidak cakap dalam arti hukum, yakni :
  1. Orang-orang belum dewasa (dibawah umur). Dewasa menurut hukum adalah orang-orang yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun keatas atau yang telah/pernah kawin.
  2. Orang-orang yang ditaruh dibawah pengampuan (curatele), antara lain :
a. Orang-orang yang terganggu jiwanya
b. Orang-orang yang tidak normal fisiknya
c. Orang-orang tertentu karena pemboros
  1. Wanita yang telah berseuami (golongan ini tidak berlaku di Indonesia berdasarkan SEMA RI No. 3 tahun 1963 yang kemudian dipertegas dengan UU No. 1 tahun 1974 sebagaimana diatur dalam pasal 34,35 dan 36)
Kedudukan seseorang sebagai subjek hukum dapat dipengaruhi oleh beerapa factor, antara lain :
  1. Usianya
Artinya sebelum mencapai usia 21 tahun sesoarang belum cakap dalam arti hukum, kecuali pernah kawin
  1. Kelamin
Menurut pasal 29 BW untuk bisa melakukan perkawinan, bagi para pria harus berusia 18 tahun dan wanita 15 tahun dengan ketentuan sudah ada izin dari orang tua yang berhak memberinya. Menurut pasal 7 UU No. 1 tahun 1974 pria 19 tahun dan wanita 16 tahun.
  1. Keturunan
Dibedakan antara anak sah dan anak luar kawin yang belum diakui sah.
  1. Kewarganegaraan
Ada perbedaan WNI dengan WNA untuk memperoleh hak dan melakukan perbuatan hukum diwilayah RI
  1. Perkawinan
Dengan melakukan perkawinan dapat menjadi dewasa, dulu, wanita yang melakukan perkawinan menjadi tidak cakap dalam arti hukum.
  1. Pengampuan
Setiap orang dibawah pengampuan menjadi tidak cakap dalam arti hukum.
Teori-teori tentang Badan Hukum
Badan hukum dipersamakan dengan orang sebagai subjek hukum berdasarkan teori-teori sebagai berikut :
  1. Teori Fictie
Teori ini di pelopori oleh FC. Von Savigny, menyatakan bahwa badan hukum merupakan kumpulan dari orang-orang yang dapat digugat dan menggunggat melalui pengurusnya. Kalau orang memliki anggota badan seperti kepala, tangan dan kaki sebagai alat, bada hukum juga mempuanyai anggota badan yaitu : direksi, komisaris dan staff sebagai alat menggerakan badan hukum tersebut dalam beraktifitas, sebagaiman berdasarkan haltersebut maka badan hukum secara fisik dipersamakan dengan orang sebagai subjek hukum.
  1. Teori Kekayaan
Suatu badan hukum dapat dikatakn menjadi subjek hukum apabila badan hukum itu mempunyai kekayaan tersendiri yang diperuntukan untuk suatu tujuan tertentu dari kelompok orang-orang yang terhimpun dalam badan hukum itu.
  1. Teori Organ
Suatu badan hukum dapat dikatakan sebagai subjek hukum apabila badan hukum itu mempunyai kemauan untuk tujuan tertentu yang dilaksankan melalui organ-organya yaitu pengurusnya.
  1. Teori Milik Bersama
Suatu badan hukum dapat dikatakan sebagai subjek hukum apabila segala hak dan kewajiban dari badan hukum itu pada hakekatnya adal hak dan kewajiban dari seluruh orang yang tergabung dalam badan hukum tersebut.

Sistematika Hukum Perdata

SISTEMATIKA HUKUM PERDATA


Sistematika Hukum Perdata terdapat 2 (dua) versi antara lain

1. Sistematika menurut pembentuk undang-undang :
BUKU I
Berjudul Perihal Orang (van Personen) yang memuat Hukum Perorangan (Hukum Pribadi) dan Hukum Kekeluargaan.

BUKU II
Berjudul Perihal Benda (van Zaken) yang memuat Hukum Benda dan Hukum Waris.

BUKU II
Berjudul Perihal Perikatan (van Verbintenissen) yang memuat Hukum Harta Kekayaan yang berkenaan dengan hak-hak dan kewajiban yang berlaku bagi orang-orang atau pihak-pihak tertentu.

BUKU IV
Berjudul Pembuktian dan Daluwarsa atau Lewat Waktu (van Bewijs en Verjaring) yang memuat perihal alat pembuktian dan akibat lewat waktu terhadap hubungan hukum.


2. Sistematika menurut ilmu pengetahuan hukum (doktrin)

Hukum Perorangan (personenrecht) atau Hukum Pribadi
Mengatur tentang : kedudukan pribadi seseorang sebagai subjek hukum.

Hukum Keluarga (Familierecht)
Mengatur tentang : hubungan seseorang dengan sesorang lainnya karena perkawinan

Hukum Harta Kekayaan (Vermogensrecht)
Mengatur tentang : hubungan-hubungan hukum yang dapat dimiliki dengan uang

Hukum Waris (Efrecht)
Mengatur tentang : pembagian dan cara-cara beralihnya harta peninggaln sesorang kepada ahli warisnya

Sabtu, 25 Juli 2009

Pembagian Hukum Perdata

Hukum Perdata dapat dibagi menjadi 2 (dua) golongan yaitu :

I. Dilihat dari Pengertiannya
, dibedakan menjadi :

a. Hukum Perdata Materiel :

Hukum Perdata Materiel adalah keseluruhan ketentuan-ketentuan yang mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban seseorang yang timbul dari adanya hubungan hukum
Ex : KUHPer (B.W.), KUHDagang (WVK) dan Peraturan Perundang-undangan lainnya

Contoh :
Tetang Jual Beli : Dalam hal apa yang menjadi hak dan kewajiban yang timbul didalam perjanjian tersebut kepada Para Pihak, diatur oleh Hukum Perdata Materiel (Hukum Perikatan)

b. Hukum Perdata Formil
Hukum Perdata Formil ialah keseluruhan ketentuan-ketentuan yang mengatur cara-cara bagaiman untuk mempertahankan dan menegakkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang timbul dalam Hukum Perdata Materiel
Ex : Hukum Acara Perdata : HIR

Contoh :
Tentang Jual Beli (contoh : a) apabila diantar pihak terjadi wanprestasi, misal pembeli tidak membayar lunas harga yang dibelinya. Dalam hal ini Penjual akan menggugat Pembeli ke Pengadilan untuk diproses Perkaranya, dalam hal ini cara-dara, prosedur dan proses dari mengajukan gugatan hingga perkara diputus dan pelaksanaan putusan (eksekusi) semuanya diatur dalam Hukum Perdata Formil.


II. Dilihat dari Bentuknya,
dapat dibedakan :
a. Hukum Perdata dalam arti luas :
Keseluruhan ketentuan-ketentuan mengenai keperdataan, baik yang terdapat dalam BW dan yang terdapat dalam WVK, dalam hal ini BW merupakan ketentuan atau hukum yang bersifat Lex Generalis terhadap WVK. Sedangkan WVK bersifat Lex Spesialis terhadap BW.
Artinya apabila terjadi pertentangan antara BW dengan WVK tentang suatu kasus tertentu, maka berlaku azas Lex Spesialis Derograt Lex Generalis, jadi dalam hal ini WVK dapat mengalihkan/mengesampingkan BW, artinya yang diberlakukan adalah ketentuan WVK tersebut.

b. Hukum Perdata dalam arti sempit
Ketentuan-ketentuan mengenai keperdataan yang terdapat dalam WVK (Kitab Undang-undang Hukum Dagang) atau peraturan perundang-undangan lainnya tentang keperdataan yang berada diluar BW (KUHPer).
Contoh : UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan di Indonesia.

Keadaan Hukum Perdata di Indonesia

Keadaan Hukum Perdata di Indonesia dibagi dalam 3 Fase :

I. Fase Pemerintahaan Hindia Belanda


Faktor Hukum Perdata di Indonesia bersifat Pluralistik disebabkan antara lain :
1. Faktor Etnis (Penduduk
2. Faktor Juridis
Keadaan tersebut diciptakan Pemerintah Hindia Belanda dalam rangka menjalankan politiknya di Indonesia melalui faktor Etnis yang dituangkan dalam Pasal 163 I.S dan faktor Juridis yang dituangkan dalam Pasal 131 I.S.
a. Faktor Etnis
Dilihat dari Pasal 163 I.S. dari aspek penduduk adalah bahwa bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa dengan hukum adatnya yang berbeda-beda.
Perbedaan penduduk Indonesia berdasarkan 163 I.S tibagi atas 3 (tiga) golongan, yaitu:
1. Golongan Eropa :
a. Orang Belanda
b. Orang Eropa Lainnya yang mempunya hukum kekeluargaan seazas dengan Belanda
c. Orang Jepang dengan maksud mempermudah perdagangan dengan Jepang pada saat itu

2. Golongan Timur Asing :

a. Tionghoa
b. India
c. Pakistan

3. Golongan Pribumi (Orang Indonesia asli / disebut dengan Bumiputra)

b. Faktor Juridis
Menurut Pasal 131 I.S. terdapat penggolongan/pengelompokan hukum dengan penundukan diri yang berbeda-beda berdarakan penggolongan penduduk yang diatur dalam pasal 163 I.S.
Pengelompokan hukum dengan penundukan diri golongan penduduk dibagi menjadi :
1. Hukum Barat
Hukum Barat berlaku bagi golongan Eropa yaitu hukum yang terdapat dalam BW dan WVK.

2. Bagi Golongan Timur Asing hukum yang berlaku adalah Stb. 1855 No. 79 dan Stb. 1917 No. 129 / Stb. 1855 No. 79 mengatur hukum yang berlaku bagi golongan timur non Tionghoa yaitu :
  • Sebagai Hukum Barat yaitu mnyangkut Hukum Kekayaan dan Hukum Benda.
  • Mengenai Hukum Kekeluargaan, Hukum Perorangan, Hukum Waris tunduk pada Hukum Adat Negara masing-masing. lebih lanjut diatur dalam Stb. 1924 No. 556 yang mengatur bahwa bagi mereka berlaku BW dan WVK terutama hukum Harta Kekayaan sedangkan Hukum Kekeluargaan, Hukum Pribadi dan Hukum Waris berlaku Hukum Adat Negara masing-masing.
3. Stb. 1917 No. 129 mengatur tentang hukum yang berlaku bagi golongan timur asing Tionghoa yaitu berlaku BW dan WVK kecuali :
a. Pasal-pasal mengenai catatan sipil tidak berlaku
BUku I dan IV bagian 2 dan 3 BW tentang upacara yang mendahului perkawinan tidak berlaku
Mengenai adopsi, berhubungan BW tidak mengenal adopsi maka untuk golongan Tionghoa dibentuk lembaga adopsi yang diatur dalam Stb. 1917 No. 129 yang kemudian diubah dengan Stb. 1924 No. 557.
II. Fase Jaman Jepang Pada Jaman Jepang hanya dikeluarkan satu Undang-undang yaitu UU No. 1 Tahun 1942 dalam pasal 3 dikatakan bahwa semua Badan-badan Pemerintah dan kekuasaannya serta hukum dan Undang-undang dari permerintah lama tetap berlaku sementara sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan pemerintah militer Jepang, dengan demikian BW dan WVK tetap berlaku.
III. Fase Kemerdekaan RI Hukum Perdata yang berlaku saat ini didasarkan pada Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 : "Segala badan negara peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini" artinya ketentuan yang ada pada zaman Hindia Belanda, khususnya Hukum Perdata, masih berlaku di Indonesia, Tujuannya adalah untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum (Rechtvacuum) di bidang keprdataan.

Bebrapa para ahli menyimpulkan yang dirangkum dari berbagai pendapat bahwa Dasar Hukum berlakunya Hukum Perdata adalah UUD 1945, Pancasila, Peraturan Perundang-undangan dan dibutuhkan, sepanjang ketentuan-ketentuan tersebut tidak bertentangan dengan keempat hal tersebut.

Sejarah Umum Hukum Perdata

SEJARAH HUKUM PERDATA
Hukum perdata Belanda berasal dari hukum perdata Perancis (Code Napoleon). Code Napoleon sendiri disusun berdasarkan hukum Romawi (Corpus Juris Civilis) yang pada waktu itu dianggap sebagai hukum yang paling sempurna. Hukum Privat yang berlaku di Perancis dimuat dalam dua kodifikasi (pembukuan suatu lapangan hukum secara sistematis dan teratur dalam satu buku) yang bernama code civil (hukum perdata) dan code de commerce (hukum dagang). Sewaktu Perancis menguasai Belanda (1806-1813), kedua kodifikasi itu diberlakukan di negeri Belanda. Bahkan sampai 24 tahun sesudah negeri Belanda merdeka dari Perancis tahun 1813, kedua kodifikasi itu masih berlaku di negeri Belanda. Jadi, pada waktu pemerintah Belanda yang telah merdeka belum mampu dalam waktu pendek menciptakan hukum privat yang bersifat nasional (berlaku asas konkordansi).
Kemudian Belanda menginginkan Kitab Undang–Undang Hukum Perdata tersendiri yang lepas dari kekuasaan Perancis. Maka berdasarkan pasal 100 Undang-Undang Dasar Negeri Belanda, tahun 1814 mulai disusun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Sipil) atau KUHS Negeri Belanda, berdasarkan rencana kodifikasi hukum Belanda yang dibuat oleh MR.J.M. KEMPER disebut ONTWERP KEMPER. Sebelum selesai KEMPER meninggal dunia [1924] & usaha pembentukan kodifikasi dilanjutkan NICOLAI, Ketua Pengadilan Tinggi Belgia [pada waktu itu Belgia dan Belanda masih merupakan satu negara]. Keinginan Belanda tersebut direalisasikan dengan pembentukan dua kodifikasi yang bersifat nasional, yang diberi nama :
  1. Burgerlijk Wetboek yang disingkat BW [atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata-Belanda] – Dalam praktek kitab ini akan disingkat dengan KUHPdt.
  2. Wetboek van Koophandel disingkat WvK [atau yang dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang] - Dalam perkuliahan, kitab ini akan disingkat dengan KUHD.
Pembentukan hukum perdata [Belanda] ini selsai tanggal 6 Juli 1830 dan diberlakukan tanggal 1 Pebruari 1830. Tetapi bulan Agustus 1830 terjadi pemberontakan di bagian selatan Belanda [kerajaan Belgia] sehingga kodifikasi ditangguhkan dan baru terlaksanan tanggal 1 Oktober 1838. Meskipun BW dan WvK Belanda adalah kodifikasi bentukan nasional Belanda, isi dan bentuknya sebagian besar serupa dengan Code Civil dan Code De Commerse Perancis. Menurut Prof Mr J, Van Kan BW adalah saduran dari Code Civil hasil jiplakan yang disalin dari bahasa Perancis ke dalam bahasa nasional Belanda.

Berdasarkan atas gabungan berbagai ketentuan tersebut, maka pada tahun 1838, kodifikasi Hukum Perdata Belanda ditetapkan dengan Stb. 1838, sepuluh tahun kemudian tepatnya pada tahun 1848 berdasarkan asa konkordansi, bahwa hukum yang berlaku di negri jajahan (Hindia Belanda) sama dengan ketentuan hukum yang berlaku di negeri Belanda yang ditetapkan dengan Stb. 1848, pada saat itulah Hukum Perdata Belanda mulai berlaku di Indonesia, yang hanya berlaku bagi orang-orang Eropa dan yang dipersamakan dengan mereka.

SISTEMATIKA HUKUM PERDATA MENURUT ILMU PENGETAHUAN

Posted: Januari 8, 2012 in tulisan Heri yang lainnya,,click this
0
Sistematika Hukum Perdata menurut ilmu pengetahuan dibagi dalam 4 bagian yaitu:
  1. Hukum Perorangan atau Badan Pribadi (personenrecht)
Memuat peraturan-peraturan hukum yang mengatur tentang seseorang manusia sebagai pendukung hak dan kewajiban (subyek hukum),tentang umur,kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum,tempat tinggal(domisili)dan sebagainya.
  1. Hukum Keluarga (familierecht)
Memuat peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum yang timbul karena hubungan keluarga / kekeluargaan seperti perkawinan,perceraian,hubungan orang tua dan anak,perwalian,curatele,dan sebagainya.
  1. Hukum Harta Kekayaan (vermogenrecht)
Memuat peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum seseorang dalam lapangan harta kekayaan seperti perjanjian,milik,gadai dan sebagainya.
  1. Hukum Waris(erfrecht)
Memuat peraturan-peraturan hukum yang mengatur tentang benda atau harta kekayaan seseorang yang telah meninggal dunia,dengan perkataan lain:hukum yang mengatur peralihan benda dari orang yang meninggal dunia kepada orang yang masih hidup.
PERKEMBANGAN PEMBAGIAN HUKUM PERDATA
Pada mulanya zaman Romawi secara garis besar terdapat 2 kelompok pembagian hukum,yaitu:
  1. Hukum Publik Adalah hukum yang menitikberatkan kepada perlindungan hukum,yang diaturnya adalah hubungan antara negara dan masyarakat.
  2. Hukum Privat Adalah kumpulan hukum yang menitikberatkan pada kepentingan individu. Hukum Privat ini biasa disebut Hukum Perdata atau Hukum Sipil.
Pada perkembangannya Hukum Perdata/Privat ada 2 pengertian:
1)    Hukum Perdata dalam arti luas
yaitu:
Hukum Perdata yang termuat dalam KUHS/Burgerlijk Wetboek/BW ditambah dengan hukum yang termuat dalam KUHD/WvK(Wetboek van Koophandel)
2) Hukum Perdata dalam arti sempit,yaitu Hukum Perdata yang termuat dalam KUHS itu sendiri.
Hukum Perdata di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok:
1. Hukum Perdata Adat:
Berlaku untuk sekelompok adat
2. Hukum Perdata Barat:
Berlaku untuk sekelompok orang Eropa dan Timur Asing
3. Hukum Perdata Nasional:
Berlaku untuk setiap orang,masyarakat yang ada di Indonesia
Berdasarkan realita yang ada,masih secara formal ketentuan Hukum Perdata Adat  masih berlaku(misalnya Hukum Waris) disamping Hukum Perdata Barat.
Unifikasi Hukum Perdata:Penseragaman hukum atau penyatuan suatu hukum untuk diberlakukan bagi seluruh bangsa di seluruh wilayah negara Indonesia.
Kodifikasi: Suatu pengkitaban jenis-jenis hukum tertentu secara lengkap dan sistematis.

Selasa, 16 April 2013

Otonomi Daerah Menurut UU No 32 Tahun 2004

Berdasarkan UU No 32 Tahun 2004 Pasal 1 angka 5  memberikan definisi Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Mengacu pada definisi normatif dalam UU No 32 Tahun 2004, maka unsur otonomi daerah adalah : 
1. Hak.
2. Wewenang.
3. Kewajiban Daerah Otonom.
Ketiga hal tersebut dimaksudkan untuk mengatur dan mengurus sendiri, urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Didalam UU NO 32 Tahun 2004 yang dimaksud hak dalam konteks otonomi daerah adalah hak-hak daerah yang dijabarkan pada  Pasal 21 Dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai hak: 1. Mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya. 2. Memilih pimpinan daerah. 3. Mengelola aparatur daerah. 4. Mengelola kekayaan daerah. 5. Memungut pajak daerah dan retribusi daerah. 6. Mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang berada di daerah. 7. Mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah. 8. Mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Berkaitan dengan wewenang dalam konteks otonomi daerah, maka daerah otonom, yaitu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat (Pasal 1 angka 6 UU No 32 Tahun 2004) berhak mengurus urusan pemerintahanya, urusan pemerintahan yang tertulis pada Pasal 12 UU No 32 Tahun 2004 memberikan panduan, yaitu: (1) Urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah disertai dengan sumber pendanaan, pengalihan sarana dan prasarana, serta kepegawaian sesuai dengan urusan yang didesentralisasikan. (2) Urusan pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur disertai dengan pendanaan sesuai dengan urusan yang didekonsentrasikan.
Selanjutnya  urusan yang berkaitan dengan otonomi daerah di daerah otonom didasarkan pada asas desentralisasi yaitu penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Pasal 1 angka 7 UU No 32 Tahun 2004). Urusan Pemerintahan ini ada yang diklasifikasi menjadi urusan wajib dan dalam konstruksi UU No 32 Tahun 2004 ada urusan wajib  berskala provinsi dan berskala kabupaten, sebagaimana diatur pada Pasal 13.
(1) Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi: a. perencanaan dan pengendalian pembangunan. b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang. c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat. d. penyediaan sarana dan prasarana umum. e. penanganan bidang kesehatan. f. penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial. g. penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota. h. pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota. i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota. j. pengendalian lingkungan hidup. k. pelayaran pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota. l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil. m .pelayanan administrasi umum pemerintahan. n. pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota. o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota. p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
(2) Urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.
Selanjutnya untuk urusan pemerintahan skala kabupaten Pasal 14. (1) Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota meliputi: a. perencanaan dan pengendalian pembangunan. b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang. c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat. d. penyediaan sarana dan prasarana umum. e. penanganan bidang kesehatan. f. penyelenggaraan pendidikan. g. penanggulangan masalah sosial. h. pelayanan bidang ketenagakerjaan. i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah. j. pengendalian lingkungan hidup. k. pelayanan pertanahan. l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil. m. pelayanan administrasi umum pemerintahan. n. pelayanan administrasi penanaman modal. o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya. p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan. 
Untuk melaksanakan kewenangan wajib tersebut, maka daerah otonom dalam melaksanakan otonomi daerah pada Pasal 22 yang menyatakan : Dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai kewajiban: a. melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional, serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. b. meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat. c. mengembangkan kehidupan demokrasi; d. mewujudkan keadilan dan pemerataan. e. meningkatkan pelayanan dasar pendidikan. f. menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan. g. menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak. h. mengembangkan sistem jaminan sosial. i. menyusun perencanaan dan tata ruang daerah. j. mengembangkan sumber daya produktif di daerah. k. melestarikan lingkungan hidup. l. mengelola administrasi kependudukan. m. melestarikan nilai sosial budaya. n. membentuk dan menetapkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan kewenangannya o. kewajiban lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. 
Kepemimpinan dan Pelaksanaan Otonomi Daerah 
Persoalan kepemimpinan dan pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan, maka berkisar pada lima pilar tata kelola pemerintahan daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, yaitu :
Pilar Pertama, Demokrasi melalui PILKADA  Kebijakan pemberlakuan otonomi membuat setiap daerah memiliki kewenangan yang cukup besar dalam mengambil keputusan yang dianggap sesuai. Terlebih dengan pemilihan kepala daerah secara langsung yang diselenggarakan sejak tahun 2005 ini, membuat kepala daerah terpilih mendapat legitimasi lebih kuat, dibanding saat dipilih oleh anggota DPRD. Tentunya kepala daerah hasil pilkada langsung ini membuahkan harapan yang cukup besar bagi masyarakat, yaitu kesejahteraan yang akan makin meningkat.  
Pilar Kedua, Sumber Daya Manusia (SDM), Karena pada dasarnya manusialah yang menjadi pelaku dan penentu. SDM yang diperlukan  Yaitu SDM yang memiliki: moral yang baik (good morality), kemampuan kepemimpinan (leadership), kemampuan manajerial (managerial skill), dan kemampuan teknis (technical skill). Seorang kepala daerah perlu didukung oleh aparat yang mempunyai empat kualifikasi tersebut, diberbagai level jabatan dan fungsinya. Moral yang baik menjadi prasyarat utama. Karena tanpa moral yang baik, semua kebijakan, sistem, program maupun kegiatan yang dirancang akan menjadi sia-sia.
Moral yang baik akan menghasilkan sebuah pemerintahan yang bersih dari tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme demi kepentingan pribadi atau golongan tertentu saja. Namun moral yang baik belumlah cukup, harus diimbangi dengan kompetensi. Yaitu kemampuan di bidang kepemimpinan, manajerial, dan teknis. Untuk mencapai kompetensi yang diperlukan, tidak terlepas dari sistem kepegawaian yang diterapkan. Model manajemen SDM berbasis kompetensi nampaknya menjadi keniscayaan. Termasuk sistem kompensasi yang memadai harus menjadi perhatian.  Selain itu perlu didukung dengan perubahan paradigma, yaitu dari mental penguasa menjadi pelayan masyarakat. Termasuk budaya kerja yang proaktif dan cepat tanggap terhadap persoalan yang dihadapi masyarakat.
Pilar Ketiga, Kebijakan Maksudnya adalah berbagai konsep kebijakan yang berpihak kepada kepentingan masyarakat luas. Secara formal, kebijakan tersebut akan dituangkan dalam peraturan daerah (perda) maupun peraturan kepala daerah. Kepala daerah antara lain harus memiliki konsep pembangunan berkelanjutan dan berkeadilan, konsep manajemen pemerintahan yang efektif dan efisien, konsep investasi yang mengakomodir kepentingan pihak terkait, serta berbagai konsep kebijakan lainnya. Hal ini sesuai dengan UU No. 25 Tahun 2004 dan UU No. 32 Tahun 2004, yang mengamanatkan kepala daerah untuk menyusun RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah), yang menjabarkan visi dan misinya selama lima tahun masa pemerintahannya. Sehingga dengan demikian arah pembangunan sejak dilantik hingga lima tahun ke depan sudah jelas. Salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu daerah antara lain jika pemerintah dapat memenuhi 5 kebutuhan dasar masyarakatnya, yaitu: pangan, sandang, papan (perumahan), pendidikan, dan kesehatan.
Pilar Keempat, Sistem Artinya pemerintahan harus berjalan berdasarkan sistem, bukan tergantung pada figur. Sangat penting bagi kepala daerah untuk membangun sistem pemerintahan yang kuat. Beberapa sistem yang harus dibangun agar pemerintahan dapat berjalan secara baik antara lain: sistem perencanaan pembangunan, sistem pengelolaan keuangan daerah, sistem kepegawaian, sistem pengelolaan aset daerah, sistem pengambilan keputusan, sistem penyeleksian dan pemilihan rekanan, sistem dan standar pelayanan, sistem pengawasan. Sistem yang dimaksud di sini dapat bersifat manual maupun yang berbasis teknologi informasi. Dukungan teknologi informasi menjadi sesuatu yang tidak dapat dielakkan jika pemerintahan ingin berjalan lebih efisien dan efektif. 
Pilar Kelima, yaitu Investasi. Tidaklah mungkin suatu pemerintahan daerah hanya mengandalkan dana dari APBD untuk membangun daerahnya. Karena bisa dikatakan, sebagian besar daerah menggunakan rata-rata 2/3 dana APBD tersebut untuk membiayai penyelenggaraan aparaturnya. Hanya sekitar 1/3 yang dapat dialokasikan untuk pembangunan. Dibutuhkan dana ratusan milyar bahkan triliunan rupiah untuk membangun infrastruktur, seperti pembangkit listrik, jalan tol, pelabuhan laut, bandar udara, telekomunikasi, rumah sakit, hotel. Sedangkan infrastruktur merupakan syarat agar sebuah daerah dapat berkembang. Contoh lain adalah dalam rangka mengoptimalkan potensi sumber daya alam yang dimiliki, juga memerlukan dana yang tidak sedikit, yang tentunya tidak mungkin jika hanya mengandalkan dana APBD saja.  Dengan keterbatasan dana yang dimiliki tersebut, mau tidak mau pemerintah daerah harus melibatkan pihak investor (dalam maupun luar negeri) dalam membangun daerahnya. Kepala daerah harus dapat menciptakan iklim yang kondusif agar para investor tertarik untuk menanamkan investasi di daerahnya.
Untuk mengawal lima pilar tata kelola pemerintahan daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, UU No 32 Tahun 2004 beserta peraturan pelaksanaannya, memberikan panduan, yaitu asas-asas pengelolaan tata pemerintahan yang baik, sebagaimana dimaksud  Pasal 20. (1). Penyelenggaraan pemerintahan berpedoman pada Asas Umum Penyelenggaraan Negara yang terdiri atas: a. asas kepastian hukum. b. asas tertib. penyelenggara negara. c. asas kepentingan umum. d.asas keterbukaan. e. asas proporsionalitas. f. asas profesionalitas. g. asas akuntabilitas. h. asas efisiensi. i. asas efektivitas. (2). Dalam menyelenggarakan pemerintahan, Pemerintah menggunakan asas desentralisasi, tugas pembantuan, dan dekonsentrasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (3). Dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah, pemerintahan daerah menggunakan asas otonomi dan tugas pembantuan