Pembagian Waris Menurut Hukum Adat Jawa
Pertanyaan :
Ibu
saya telah meninggal dan mempunyai anak sebanyak 7 orang dari suami
yang berbeda, saya selaku anak (laki-laki) pertama dari suami pertama
namun tidak ikut ibu saya dari saya masih bayi (tidak dibesarkan
langsung). Apakah saya masih mempunyai hak waris? Ibu saya memiliki
rumah di atas tanah warisan dari nenek. Pertanyaan: Bagaimanakah
pembagian warisnya menurut hukum adat (ahli warisnya yaitu 2 orang
laki-laki dan 5 orang perempuan), dan apakah suaminya pun dapat hak
waris jugakah?
Jawaban :
EVI RISNA YANTI, SH
SaudariJenny, terima kasih atas pertanyaannya.
Sedikit ingin menggali keterangan dari Anda, karena saya kira ada yang harus dilengkapi dari pertanyaan di atas.
Jika memang pertanyaan tersebut terkait dengan hukum adat, maka
sebaiknya perlu ditambahkan keterangan, hukum waris adat suku apa yang
Anda maksudkan dalam contoh di atas.
Saya ingin mengutipkan pengertian hukum waris adat yang disebutkan oleh Supomo, yang mana menurutnya, hukum
adat waris memuat beberapa aturan yang mengatur proses penerusan serta
pengoperan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak
berwujud benda dari suatu angkatan manusia kepada turunannya.
Hukum waris adat memuat tiga unsur pokok, yaitu:
1. Mengenai subyek hukum waris, yaitu siapa yang menjadi pewaris dan siapa yang menjadi ahli waris.
2. Mengenai kapan suatu warisan itu dialihkan dan bagaimana cara yang dilakukan dalam pengalihan harta waris tersebut. Serta bagaimana bagian masing-masing ahli waris.
3. Mengenai obyek hukum waris itu sendiri, yaitu tentang harta apa saja yang dinamakan harta warisan, serta apakah harta-harta tersebut semua dapat diwariskan.
Di dalam masyarakat adat Indonesia, secara teoritis sistem kekerabatan dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu:
1. Sistem Patrilineal,
2. Sistem Matrilineal, dan
3. Sistem Parental atau bilateral.
Ad.1.
Sistem Patrilineal adalah sistem kekerabatan yang menarik garis dari
Pihak Bapak, maksudnya dalam hal ini setiap orang hanya menarik garis
keturunan dari Bapaknya saja. Hal ini mengakibatkan kedudukan pria lebih
menonjol pengaruhnya daripada wanita dalam hal mewaris. Sistem ini
dianut oleh suku-suku seperti, Batak, Gayo, Nias, Lampung, Seram, NTT
dan lain-lain.
Ad.2. Sistem
matrilineal adalah sistem kekerabatan yang ditarik dari garis Pihak
Ibu. Sehingga dalam hal kewarisan kedudukan wanita lebih menonjol
pengaruhnya dari pada garis Bapak. Sistem kekerabatan ini dianut oleh
masyarakat Minangkabau, Enggano dan Timor.
Ad.3. Sistem parental/bilateral adalah sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari kedua belah pihak Bapak dan Ibu,
sehingga kedudukan anak laki-laki dan anak perempuan dalam hal mewaris
adalah seimbang dan sama. Masyarakat yang menganut sistem ini misalnya
Sumatera Timur, Sumatera Selatan, Riau, Kalimantan dan lain-lain.
Secara umum, asas pewarisan yang dipakai dalam masyarakat adat bergantung dari jenis sistem kekerabatan yang dianut. Namun menurut Hazairin, hal itu bukan suatu hal yang paten. Artinya, asas tersebut tidak pasti menunjukkan bentuk masyarakat di mana hukum warisan itu berlaku. Seperti misalnya, asas individual tidak hanya ditemukan pada masyarakat yang
menganut sistem bilateral, tetapi juga ditemukan pada masyarakat yang
menganut asas patrilineal, misalnya pada masyarakat Batak yang menganut
sistem patrilineal, tetapi dalam mewaris, memakai asas individual.
Jika kita mengambil contoh Suku Jawa yang hukum adat-nya bersistem parental, maka terhadap permasalahan di atas, hal-hal yang menjadi catatan kita adalah:
a. Saudara adalah anak kandung dari Suami Pertama.
b. Saudara tidak tinggal bersama secara langsung.
c. Ibu Saudara memiliki anak-anak lagi dari hasil perkawinannya yang sekarang sebanyak 6 orang.
d. Sehingga jumlah keseluruhan anaknya adalah 7 orang, yang mana jumlah anak laki-laki 2 dan anak perempuan 5, serta meninggalkan seorang suami.
e. Warisan
Ibu berasal dari neneknya, artinya bukan berasal dari harta bersama
dengan suami kedua-nya, artinya harta tersebut adalah harta bawaan, yang
akan diwariskan kepada anak keturunannya.
Di
dalam masyarakat Jawa, semua anak mendapatkan hak mewaris, dengan
pembagian yang sama, tetapi ada juga yang menganut asas sepikul
segendongan (Jawa Tengah), artinya anak laki-laki mendapatkan dua bagian
dan anak perempuan mendapatkan satu bagian, hampir sama dengan
pembagian waris terhadap anak dalam Hukum Islam.
Pada dasarnya, yang
menjadi ahli waris adalah generasi berikutnya yang paling karib dengan
Pewaris (ahli waris utama) yaitu anak-anak yang dibesarkan dalam
keluarga (brayat) si Pewaris. Terutama anak kandung. Sementara untuk
anak yang tidak tinggal bersama, tidak masuk ke dalam ahli waris utama.
Tetapi ada juga masyarakat Jawa (Jawa Tengah), yang mana
anak angkat (yang telah tinggal dan dirawat oleh orang tua angkatnya)
mendapatkan warisan dari kedua orang tuanya, baik orang tua kandung atu
angkat.
Jika anak-anak tidak ada, maka kepada orang tua dan jika orang tua tidak ada baru saudara-saudara Pewaris.
Demikianlah yang dapat saya sampaikan, semoga berkenan dan bermanfaat.
0 komentar:
Posting Komentar