MAKALAH
SISTEM PERKAWINAN
ADAT MASYARAKAT DAYAK RANSA
Pelengkap
Mata Kuliah : Hukum Adat
Dosen
Pembina : Naning Duyung Indriati, SH., SE
Di susun
oleh : Antonius
NPM :
120405010034
Fakultas/jurusan
: Ilmu Hukum
Kelas : A
UNIVERSITAS
KANJURUHAN MALANG
2014
SISTEM
PERKAWINAN ADAT MASYARAKAT DAYAK RANSA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Dari zaman dahulu adat istiadat dayak ransa sudah di kenal oleh warga
masyarakat setempat dan di lakukan sejak turun temurun dari nenek moyang hingga
anak cucunya, sampai sekarang adat-adat
yang ada di masyarakat tersbut masih tetap di dipegang teguh dan masih sangat
kental serta dijalankan oleh warga masyarakat setempat.
Di dalam kehidupan bermasyarakat setiap
manusia baik individu maupun kelompok tidak terlpas dari satu sama lain. Karena
manusia merupakan makhluk sosial dan Tuhan menciptakan manusia yaitu untuk
saling berinteraksi dengan manusia lainnya, oleh sebab itu setiap manusia tentu
ingin memiliki keturunannya masing-masing untuk mewarisi harta kekayaan mereka.
Maka dari itu muncullah suatu norma/hukum, tradisi atau kebiasaan didalam
masyarakat dalam hal ini ialah peraturan adat yang mengatur tentang hokum perkawinan
dan itu berlaku bagi pemegang hak dan kewajiban sebagai subyek hukum.
Dengan demikian tidak berbedanya hal terhadap
warga masyarakat adat dayak ransa
yang merupakan salah satu dari sekian banyak suku dayak yang ada di pulau Kalimantan (borneo)yang memiliki
tradisi atau kebiasaan adat tersendiri. Suku ini geografis terletak di sebuah
Desa pedalaman yaitu Desa Laman Mumbung Kecamatan Menukung Kabupaten Melawi, di
kawasan paling timur Kalimantan Barat. Suku ini juga memiliki adat perkawinan /kebiasaan
adat dayak ransa juga di atur dalam
ketentuan-ketentuan tertentu pada adatnya oleh Temenggung (kepala adat) setempat. Namun hokum adat dayak ransa bentuk
dan sifatnya juga tidak tertulis, akan tapi budaya semacam ini tetap mereka
jalankan terus menerus dalam kehidupan bermasyarakat. System pada perkawinan suku dayak ransa yaitu menganut system
dengan garis keturunan patrilinear (dengan garis keturunan bapak).
Masyarakat pada suku dayak ransa dalam adat
perkawinannya, seorang pria yang ingin menikahi atau mengawini seorang wanita
tidak serta merta atau spontanitas begitu saja langsung kawin, akan tetapi
melalui tahap, proses atau cara-cara yang sesuai pada adat yang berlaku di
daerah tersebut. Pada adat dayak ransa
yang melatarbelakangi adanya tradisi atau kebiasaan dalam proses perkawinan
sudah dari zaman ke zaman telah diwarisi oleh nenek moyang mereka hingga turun
temurun. Maka dari itu kebiasaan dalam masyrakat itu tidak bisa hilangkan dan
tetap melekat dalam diri masyarakat tesebut.
Sesuai dengan perkembangan zaman cara atau
proses tradisi/kebiasaan suatu masyarakat pun bisa berubah-ubah secara substansialnya,
maka dari itu di harapkan masyarakat di tuntut agar bisa menyesuaikan diri
dengan masyarakat lain. Hukum adat di wilayah-wilayah tertentu memiliki
kelebihan dan kekurangan pada masing-masing suku, oleh karena itu di sebabkan
adanya kebiasaan-kebiasaan yang di
lakukan dalam masyarakat di sesuaikan dengan tingkah laku atau
tindakan-tindakan pada masyarakat itu sendiri.
Dalam adat dayak ransa perkawinan adalah hal yang sangat di sakralkan dan
bukanlah peristiwa/perbuatan yang bisa di lakukan dengan semata-mata hanya
sementara atau sesaat saja, artinya perkawina merupakan sesuatau yang hanya
bisa di lakukan satu kali dalam seumur hidup bagi mereka baik itu seorang pria
maupun seorang wanita terkecuali yang maha kuasalah yang memisahkan. Karena
perkawinan menurut adat dayak ransa merupakan
ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri
dengn tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal dengan berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Kebiasaan dalam perkawinan adat dayak ransa seseorang pria dan seorang
wanita wajib untuk mencari pasangan hidupnya masing-masing sesuai dengan hasrat
dan keinginannya tanpa unsur paksaan dari siapa pun dan bebas memilih sebagai
sepasang suami istri dalam hidupnya.
1.2 Rumusan
Masalah
1.
Apa
pengertian dari perkawinan dalam hukum adat?
2.
Bagaimana
persyaratan perkawinan adat masyarakat dayak ransa?
3.
Bagaimana
system pertunangan perkawinan dalam adat dayak ransa?
4.
Bagaimana
dengan biaya dalam perkawinan adat dayak ransa?
1.3 Tujuan
Penulisan
Pembaca dapat mengambil dari beberapa tujuan
dari penulisan makalah ini, yaitu :
1.
Untuk
mengetahui pengertian dari perkawinan dalam hukum adat?
2.
Untuk
mengetahui tentang persyaratan perkawinan adat dayak ransa?
3.
Untuk
mengetahui system pertunangan dalam prekawinan adat dayak ransa?
4.
Untuk
mengetahui biaya perkawinan adat dayak ransa?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pngertian Perkawinan dalam Hukum Adat
Perkawinan adalah perilaku mahluk ciptaan
Tuhan Yang Maha Esa agar kehidupan di alam dunia berkembang baik. Perkawinan bukan
terjadi di kalangan manusia saja, tetapi juga terjadi pada tumbuhan dan hewan.
Oleh karena itu manusia adalah mahluk yang berakal, maka perkawinan salah satu
budaya yang beraturan yang mengikuti perkembangan manusia dalam kehidupan
bermasyarakat.
Dalam masyarakat adat budaya perkawinannya
sederhana, sempit dan tertutup, dalam masyarakat yang tradisional. Sehingga dalam
masyarakat yang sederhana dan tradisional tersebut mengikuti perkembangan zaman
yang maju (modern) budaya perkawinannya pun maju, luas dan terbuka. Aturan
tata-tertib perkawinan adat sudah ada sejak zaman nenek moyang terdahulu yang
di pertahankan para tokoh-tokoh kepala adat dan anggota-anggota masyarakat adat
setempat.
Di masyarakat dayak ransa sendiri aturan tata-tertib perkawinan sudah ada sejak
zaman dahulu, sejak zaman kono bahkan masa kolonial Belanda dan sampai
Indonesia telah merdeka. Budaya adat perkawinan dan aturannya yang berlaku pada
suatu masyarakat adat tidak terlepas dari pengaruh budaya dan lingkungan di
mana masyarakat itu berada serta pergaulan di dalam masyarakat itu sendiri.
Adat itu sendiri bisa luntur atau bisa di pengaruhi pengetahuan, pengalaman,
kepercayaan dan keagamaan yang di anut oleh masyarakat yang bersangkutan.
Seperti halnya dalam aturan perkawinan adat
dayak ransa sendiri bisa di pengaruhi oleh adat tradisi atau budaya dari suku
lain, tetapi tidak hanya antar budaya yang bisa mempengaruhi dalam system
perkawinan adat tidak jarang dalam ajaran agama pun bisa mempengaruhi adat. Hal
mana berakibat lain pandang lain belalang lain lubuk lain ikannya, lain
masyarakat lain aturan perkawinannya. Jadi walaupun masyarakat adat suku dayak ransa merupakan bagian dari
warga masyarakat Indonesia yang kini telah memiliki hukum perkawinan nasional
sebagai aturan pokok, namun pada kenyataannya bahwa di kalangan masyarakat suku dayak ransa masih tetap percaya dan
berlaku adat serta tata-tertib upacara perkawinannya.
Kita masih melihat berlakunya tata-tertib
perkawinan bagi masyarakat adat suku
dayak ransa yang bersendi dengan keturunan bapakan (patrilinear). Begitu
pula kita dapat melihat bagaimana berlakunya hukum adat yang menganut seperti
system dengan garis keturunan matrilinear (garis keturunan ibu) dan parental
(garis keturunan bapak dan ibu/campuran). Dengan melihat dari sendi-sendi
tersebut perbedaan dalam pelaksanaan hukum perkawinan itu dapat mempengaruhi
cara hidup kekeluargaan, kekerabatan, dan kekaryaan seseorang dalam kehidupan
masyarakat.
Berbahaigialah suatu suku yang telah memiliki
adat, budaya dan tradisi perkawinan secara tersendiri, yang sifatnya bisa di
katakan telah menampung sendi-sendi dan memberikan landasan hukum adat
perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan berlaku bagi berbagai golongan
suku adat istidat yang ada di dalam masyarakat Indonesia itu sendiri. Hal ini
berarti walaupun pada pokoknya pada suku
dayak ransa sudah mempunyai hokum adat perkawinan tersendiri yang
berlandaskan kebiasaan dari budaya dan tradisi yang di anut namun kepercayaan
itu masih tetap berlaku. Mengapa demikian, dikarenakan adat istiadatnya masih
sangat kental dan kuat pengaruhnya.
Oleh karenanya jika yang berbeda bertemu
dalam ikatan perkainan (campuran), sedangkan salah sau pihak masih tetap mempertahankan
pegangannya, maka tidak jarang menimbulkan kesulitan dalam penyelesaian, bahkan
dapat berakibat terganggunyan kerukunan berumah tangga. Dengan melihat dari
pengertian tersebut maka sampailah kita pada perlunya pembahasan terhadap
masalah sejauh manakah hukum adat perkawinan suku dayak ransa dalam kaitannya dengan tradisi adat istiadat lain
yang masuk kedalam adat tersebut yan hukumnya bersifat lokal dari berbabagai
macam hukum adat yang berlaku di kalangan masyarakat adat suku dayak ransa.
Di dalam aturan adat dayak ransa dasar perkawinan, syarat-syarat perkawinan,
pencegahan perkawinan, batalnya perkawinan, perjajian perkawinan, hak dan
kewajiban suami istri, harta benda dalam perkawinan, putusnya perkawinan serta
akibatnya, kedudukan anak, hak dan kewajiban antara orang tua dan anak,
perwalian dan ketentuan-ketentuan lain.
2.2 Persyaratan Perkawinan
Aturan adat pada masyarakat suku dayak ransa seorang pria yang di
katakan sudah dewasa atau dengan kata lain yang umurnya sudah cukup untuk kawin
dengan seorang wanita paling tidak umurnya tujuh belas tahun keatas. Sedangkan
pada seorang wanita batas umur boleh kawin minimal enam belas tahun keatas,
karena pada usia tersebut baik pria maupun wanita dalam hukum adat dayak ransa sudah di anggap cukup
dewasa.
Maka melihat dari umur tersebut hukum adat
yang berlaku di masyarakat tersebut boleh melangsungkan perkawinan yang sah
sesuai dengan adat yang ada. Namun bagi masyarakat adat dayak ransa dalam melangsungkan perkawinan antara seorang
pria dan seorang wanita umur bukanlah suatu penilaian atau keriteria tertentu,
pada intinya seseorang baik pria maupun wanita harus siap untuk kawin dan
menjalani masa depan keluarga. Artinya seorang pria dan seorang wanita dapat
melangsungkan perkawinannya tanpa ada paksaan, tetapi siap dalam membangun,
membina rumah tangga dan bertanggung jawab dalam keluarga rumah tangga mereka.
Pada umumnya apabila seorang pria yang ingin
melamar seorang wanita yang dalam bahasa ransanya betonyak (meminang) seorang pria harus mempersiapkan terlebih
dahulu perlengkapan yang notabenenya berupa barang yang nantinya harus
diserahkan kepada pihak perempuan, yang di maksud dengan barang-barang yang di
serahkan dari pihak laki-laki kepada perempuan, yang sekiranya berupa alat-alat
perlengkapan yang biasa dan layak di pakai seorang wanita misalnya; seperti
kain, handuk, celana, baju, alat-alat mandi seperti sabun dan sejenisnya juga
berupa kosmetik dan lain-lain. Jadi pertama-tama yang harus di persiapkan
seorang pria apabila ingin melamar seorang wanita barang-barang yang sudah di
sebutkan di atas harus benar-benar ada dan itu akan menguatkan bahwa seorang
pria/laki-laki tersebut benar-benar sudah siap untuk kawin serta bertanggung
jawab.
Ketika sudah di pastikan bahwa seorang pria
menyanggupi permintaan sebagai persyaratan utama yang sudah di anggap terpenuhi
oleh seorang Temenggung (kepala
adat/ketua adat) dengan mempertimbangkan keabsahannya demi memenuhi syarat,
maka proses dari betonyak (pelamaran)
tersebut bisa di lanjutkan. Walaupun dalam proses betonyak (pelamaran) tersebut tidak berjalan mulus, dalam arti
ketika seorang wanita tidak menerima lamaran seorang pria secara otomatis barang tersebut tetap di berikan
ke pihak perempuan dan tidak di kembalikan lagi pada laki-laki yang melamar
tersebut. Karena atas dasar apa yang sudah di perdengarkan ke masyarakat lain,
bahwasanya seorang pria akan melamar seorang wanita, maka di situ terjadi adat basa sopan santun, artinya jika orang
akan melangsungkan perkawinan bagi suku dayak ransa itu merupakan hal yang
sangat sakral dan bukan hal yang main-main, apabila dalam penyelenggarannya perkawinan
itu batal maka secara tidak langsung dari pihak keluarga merasa adanya tekanan
batin atau di kucilkan dalam hal ini berkaitan dengan perasaan si keluarga
perempuan.
Adapun syarat-syarat lain yang biasa di
lakukan ketika betonyak berkaitan
dengan tempat seorang pria yang ingin melamar seorang wanita terutama pihak
dari laki-laki harus datang di tempat kediaman (domisili) si perempuan. Dari
syarat yang telah di kemukakan di atas, adapun syarat lain seorang pria maupun
wanita yang akan melangsungkan pelamaran keduanya tidak terikat pada yang lain,
maksudnya pria atau wanita tersebut ketika akan berlangsungnya pelamaran maka
di pastikan keduanya sama-sama bebas dari ikatan atau hubungan dengan laki-laki
maupun perempuan lain.
2.3 Masa Pertunangan (Tunang/meminang)
Setelah melakukan proses betonyak (pelamaran) pada perkawinan
tersebut keduanya sudah sah dan lamaran pria di terima oleh wanita maka tahap
selanjutnya adalah kedua belah pihak membuat perjanjian atau kesepakatan untuk betunang (pertunagan). Dalam hukum adat ransa apabila seorang pria melamar
seorang wanita dan lamaran tersebut di terima, tidak bileh serta-merta di
nikahkan akan tetapi harus ada masa-masa tunang
(pertunangan).
Masa pertunangan bervariasi
maksudnya tenggang waktu untuk di nikahkan kedua mempelai tergantung
kesepakatan antara pihak laki-laki dan perempuan. Masa tenggang waktu perkawinan
mempelai menurut adat setempat minimal tiga bulan dan paling lama maksimal satu
tahun harus di nikahkan, karena menurut adat yang di yakini di masyarakat ransa pertunangan merupakan sesuatu keharusan agar para pihak seorang pria
dan seorang wanita maupun keluarga kedua belah pihak tersebut saling mengenal
satu sama lainnya. Dengan di beri waktu untuk mengenal lebih jauh dan lebih
dalam lagi masing-masing para pihak yang terikat dalam hal ini ialah
pertunangan.
Pada adat perkawinan masyarakat suku dayak ransa, tunang (pertunagan) merupakam
keharusan, agar pendekatan secara
kekerabatan dan kekeluargaan antara pihak laki-laki dengan pihak perempuan terjalin
hubungan yang harmonis. Jika tidak ada proses pertunangan yang di khawatirkan
adalah muncul suatu kejanggalan-kejanggalan dari para pihak, maka dari itu
dengan adanya tunang (pertunangan) pihak yang mengikatkan diri khususnya
pria dan wanita di harapkan saling menjaga hubungannya supaya tidak terjadi
hal-hal yang tidak di inginkan sebelum pernikahan berlangsung.
2.3 Proses Pelaksanaan Perkawinan
Dari betonyak (pelamaran) kemudian betunang(pertunangan)
sampai menjelang hari pernikahan, berbagai proses di lalui dan tahap demi tahap
yang di lewati, pada perkawinan suku ransa
berlangsungnya suatu upacara pernikahan biasanya pada bulan enam. Upacara adat
perkawinan kebayakan di lakukan pada masa pegoai
adant dayak (gawai adat dayak/pesta adat dayak) yaitu pesta yang di lakukan
secara serentak atau bersamaan dengan tetangga yang ada di sekitarnya.
Jadi pesta pernikahan atau
perkawinan pada umumnya kebanyakan di lakukan pada saat gawai dayak atau pesta adat tiba yaitu setelah selesai musim panen
padi, mengapa demikian karena pesta tersebut hanya di selenggarakan satu tahun
sekali. Berlangsungnya upacara perkawinan bersama dengan meramaikan perayaan adat
gawai dayak itu secara tidak langsung akan meringankan biaya perkawinan, maka
dari itu perkawinan suku dayak ransa dominan berlangsung atau bertepatan dengan
perayaan adat gawai musim panen telah usai. Dalam tradisi upacara perkawinan
adat ransa ada beberapa kali tahap
dalam perkawinan yaitu;
A. Perkawinan pertama
Yang di maksud dengan perkawinan pertama
ialah di mana serorang pria yang belum pernah menikah artinya baru pertama kali
kawin begitu juga sebaliknya seorang wanita juga baru kawin, akat nikah
dilaksanakan atau berlangsungnya suatu perkawinan bertempatkan di domisili
perempuan. Karena menurut adat setempat khususnya pada suku ransa dalam melangsungkan perkawinan harus di domisili
perempuan dan tidak mungkin di nikahkan di domisili laki-laki, sebab kalau
seandainya itu terjadi di mana kehormatan seorang wanita yang seolah-olah
menjual harga diri.
B. Perkawinan ke dua atau menoik
Setelah terselenggaranya suatu perkawinan terdahulu/pertama,
ada perkawinan kedua yang di laksanakan di domisili laki-laki yang di sebut
dengan menoik. Upacara perkawinan ini
merupakan suatu balasan dari orang tua laki-laki dan berlangsungnya upacara
perkawinan ini bertempat (didomisili) laki-laki, karena mereka menganggap menoik itu adalah suatu kehormatan bagi
pihak keluarga tersebut jika terselenggarakannya perkawinan (menoik). Sebab
kalau menoik bagi orang tua laki-laki
merupakan menyambut kedatangan seorang menantu yang masuk kedalam bagian
keluarga mereka yang baru. Menoik tidak
di tentukan kapan waktunya, dan itu bisa di laksanakan kapan saja walau pun
mereka sudah punya anak juga masih tetap bisa di lakukukan, karena menoik adalah perkawinan yang di
pertanggung jawab kan orang tua laki-laki yang artinya semua beban perkawinan
di biayai orang tua tersebut.
C. Perkawinan sakramen
Perkawinan ini adalah perkawinan yang di
sahkan oleh agama dan di sakralkan oleh gereja. Walau pun mereka memiliki adat
yang sangat kental namun kepercayaan mereka tetap ada yaitu percaya akan agama
atau Tuhan, karena bagi suku ransa
kepercayaan akan agama atau Tuhan harus di imbangi dengan kepercayaan terhadap
tradisi adat yang berlaku dan keduanya tetap sama-sama dijalankan. Dalam
perkawinannya terhadap agama pun mereka tidak mengabaikan, karena setelah
melaksanakan perkawinan adat suku ini tetap melangsungkan perkawinan di gereja
atau perkawinan sakaramen. Kerena
bagaimana pun mereka adalah bagian dari bangsa Indonesia di mana seseorang
bangsa Indonesia itu sendiri harus tunduk kepada aturan-aturan dan norma-norma
hukum yang berlaku di negeri ini.
2.4 Biaya Perkwinan (Adant)
System perkawinan di mana saja
dan suku apa pun di Indonesia termasuk adat suku dayak ransa ketika mengadakan suatu upacara perkawinan tentu
sedikit banyak tetap mengeluarkan/membutuhkan biaya yang sesuai dengan aturan
adat yang berlaku di suatu daerah tertentu dan tidak terkecuali suku ransa itu
sendiri. Dari semua biaya perkawinan itu di tanggung oleh pihak laki-laki, biaya
atau maskawin dalam perkawinan pada adat masyarakat setempat yang harus di
bayar oleh pihak laki-laki kepada seorang perempuan biasanya berupa uang juga
berupa benda maupun barang yang di anggap masih berharga, itulah yang di
namakan adat atau adant kawin
yang berlaku di wilayah atau daerah tersebut.
Adat perkawinan tersebut tidak
hanya hanya berupa satu seperangkat alat maskawin saja namun bermacam-macam
jenisnya, masing-masing seperangkat maskawin atau adant kalau di uangkan bervariasi nilainya dengan kata lain di ulun/ulutkan. Dalam adat itu ada yang namanya
Ulun atau ulut yang artinya ketika seseorang di dalam lingkungan masyarakat dayak ransa melakukan suatu pelanggaran
atau masalah yang di anggap melanggar adat mereka maka hal semacam itu harus di
beri sanksi atau sanksi adat. Ketika perbuatan yang di anggap melanggar adat
tentu ada sanksinya atau lebih tepatnya denda pelanggar adat, apabila perbuatan
yang melanggar adat secara otomatis ada ulunnya.
Ulun itu ibaratkan pasal yang mengatur banyak atau sedikitnya denda
pada orang-orang atau individu yang melawan/melanggar aturan-aturan adat, jadi
hitungannya satu ulun/ulut apabila di
langgar oleh pemegang subyek dan itu di nilaikan dengan mata uang/rupiah denda
ini sekitar kurang lebih 400.000,-00 (empat ratus ribu rupiah) per ulunnya. Sedangkan adat perkawinan dayak ransa seorang laki-laki harus
membayar kepada seorang wanita dengan ulun sebesar 12 (dua belas ulun) ulun, sebab adat perkawinan dala
perhitungannya harus dua belas ulun. Apabila
dua belas ulun ini di nilaikan dengan
rupiah perhitungan nominalnya yaitu 4.800.000,-00 (empat juta delapan ratus
ribu rupiah). Jadi kurang lbih seperti itulah perhitungan rincian dari biaya
perkawinan suku dayak ransa yang
harus di bayar oleh pihak laki-laki kepada perempuan yang akan di kawinkannya itu.
Dari pihak laki-laki apabila sudah menyelesaikan perhitungan adat dan di
tetapkan sebanyak dua belas Ulun oleh ketua adat setempat, di harapkan agar
membayar serta menyerahkan langsung uang atau pun barang kepada pihak perempuan
untuk membiayai pesta perkawinan yang akan di berlangsungkan tersebut.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan mengenai hokum
adat ini maka dapat di ambil kesimpulan yaitu bahwa hokum adat yang berlaku di
masyarakat dayak ransa dengan memakai system patrilinear. Walaupun sudah
memasuki zaman era yang modern seperti sekarang ini masyarakat dayak ransa
masih tetap memegang teguh serta menjalankan adat mereka dari apa yang telah
diwarisi nenek moyang mereka terdahulu.
3.2 Saran
Adapun saran yang dapat penulis berikan
adalah bahwa masyarakat Indonesia jangan sampai adat istiadat yang ada di
hilangkan terutama bagi suku-suku yang ada di pedalaman yang adatnya masih
sangat kental pertahankan adat-adat tersebut dan jangan terpengaruh oleh
budaya-budaya asing, karena adanya adat atau budaya merupakan salah satu
identitas dan jati diri bangsa.
DAFTAR PUSTAKA
Data hasil penelitian lapangan
dan wawancara langsung dengan kepala adat suku
dayak ransa
0 komentar:
Posting Komentar